Chapt. 20

4.4K 735 76
                                    

Agam pulang malam ini.

Setelah beberapa hari dirinya selalu pulang ke rumah Papa, hari ini Anin dengan riang belanja bahan makanan sepulang kantor. Tanpa ribut bertanya lelaki itu akan take off jam berapa, landing jam berapa, atau apakah perlu dijemput ke bandara. Yang terakhir sepertinya tidak perlu. Agam punya Niko.

Jadi Anin hanya perlu menyiapkan sambutan kecil di apartemen. Bisa dibilang bukan sambutan juga, karena Anin cuma masak seperti biasa. Tidak ada yang spesial selain sebersit rasa senang mengetahui sebentar lagi bisa melihat Agam.

Dia belanja dengan ringkas dan cepat, menolak halus tawaran SPG untuk mampir ke booth mereka, mencicipi nugget olahan yang katanya sehat. Dia terus berjalan ke rak yang dia butuhkan. Sedikit cemberut ketika antrean di kasir ternyata cukup panjang. Bibirnya manyun tanpa merasa sungkan. Tidak ingin mengerti kalau ini weekend dan saatnya bagi ibu-ibu rumah tangga untuk belanja sambil pacaran dengan suami. Atau ramai-ramai dengan buah hati mereka.

Sepanjang Anin menoleh ke kanan-kiri, kebanyakan para ibu itu memang ditemani suami mereka dan sebagian membawa anak-anak. Anin bukannya iri. Dia sering belanja ditemani Agam. Dulu dia pikir rasanya biasa saja, sekarang baru terasa lebih menyenangkan kalau Agam di sini juga. Meski jam belanja akan ngaret lebih lama karena mereka akan debat soal merek. Agam yang anaknya tidak suka protes, berubah jadi anak kecil yang meributkan hal sepele. Begitu Anin sudah senewen, lelaki itu baru mau mengalah. Sepertinya memang sengaja membuat Anin kesal.

Anin tersenyum, mendorong trolinya maju. Sabar. Tinggal dua antrean lagi. Sembari menunggu, dia mengeluarkan ponsel. Mencari resep masakan sesuai dengan belanjaan yang dia ambil random kali ini. Agam gampang urusan makanan. Dan yang terpenting lelaki itu suka dengan masakannya tanpa sok-sok protes seperti papanya.

Setelah dipikir-pikir, beruntung juga ya hidup Anin. Punya suami yang baik, tidak neko-neko, bertanggungjawab, mencintai dirinya dengan tulus. Kalau tahu begini harusnya dia mengajak nikah Agam lebih awal. Karena toh, secinta apa pun dia dengan Reno, yang paling ada untuknya hanya Agam.

Bukannya perempuan lebih butuh dicintai daripada mencintai? Anin sempat buta soal ini.

Sejak pagi itu di atap gedung kantor, Reno tidak coba menghubunginya lagi. Tidak lagi muncul tiba-tiba di pagi hari. Karena setahunya, lelaki itu tidak pernah sungkan menjemput Anin ke rumah. Selalu punya tameng sebagai kakak yang menjemput adiknya bekerja. Alibi kuat yang bisa digunakan tanpa menimbulkan kecurigaan siapa-siapa.

Itu dulu, sekarang beda. Mama tidak ragu untuk menggantungnya hidup-hidup kalau sampai berani membawa sumber masalah ke rumah.

Itulah kenapa dia bersyukur. Reno benar-benar mengabulkan permintaannya. Selama beberapa hari hidup Anin terasa ringan dan mudah. Dia bisa bernapas dengan leluasa tanpa mencari cara untuk menghindar. Jika pun berpapasan di kantor, lelaki itu bersikap seolah tidak melihat Anin. Ini yang dia harapkan.

Semoga seterusnya akan begini, hingga dia bisa meyakinkan Agam kalau dirinya sudah bisa diajak melangkah bersama. Anin butuh waktu sedikit lagi dan yakin kalau Agam akan selalu memberinya kesempatan.

Urusan belanja selesai, Anin masuk ke salah satu taksi yang mangkal di depan supermarket. Menyebutkan alamat apartemen lalu mengecek ponsel. Nihil. Tidak ada satu pun chat dari Agam. Sehari hanya satu kali lelaki itu menelepon, itu pun hanya sebentar. Sekarang mungkin Agam sudah di pesawat. Tidak masalah.

Dua jam Anin berkutat di dapur. Mengenakan celemek motif kelinci kesukaan Agam di balik setelan kerja. Dikejar waktu, dia tidak sempat mandi atau ganti baju. Cepolan rambutnya pun mulai melonggar. Sepuluh menit, mukanya sudah cemong tepung. Tangan terciprat minyak panas. Telur yang meleset hingga jatuh sia-sia ke lantai.

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang