Chapt. 11

4.1K 684 66
                                    

Bacanya dieja, biar lama😭🙏

—————————

Pertemuan keluarga yang Anin rasa akan jauh berkali lipat sulit dia hadapi. Ini bukan acara besar, hanya sebuah tradisi setiap bulannya yang sudah biasa mereka lakukan. Berkumpul karena Oma selalu merindukan cucu-cucunya.

Dan dia akan bertemu Tante Prita dan Mbak Lily. Minggu lalu, ketika Mbak Lily datang melabraknya, dia bisa bertahan karena ada ego yang membentengi. Tapi setelah merenungkannya selama beberapa hari, Anin menyesal karena melakukan konfrontasi. Seharusnya dia diam dan menerima semua tamparan sebagai bentuk kemarahan yang patut dia terima.

Genggaman terasa di tangan kanannya. Dia lupa kalau punya Agam. Dia tidak sendirian menghadapi apa pun yang menunggunya di dalam sana.

"Kita bisa pulang kalau kamu nggak bisa ketemu mereka saat ini." Agam menawarkan solusi termudah karena sejak mobil ini berhenti di halaman rumah Oma, Anin hanya mematung.

Tanpa menatap mata Agam. "Tapi aku punya kamu." Saat sentuhan terasa di tangannya, Anin tanpa sadar merasa jauh lebih tenang. Detak jantungnya berangsur normal.

Agam melepas sabuk pengaman Anin dan juga dirinya. Turun dari mobil, menunggu Anin yang memilih membuka pintu sendiri. Dia menggandeng tangan istrinya untuk masuk ke dalam.

Melewati pintu utama, Anin memasang topeng. Dia tidak mau membebankan banyak hal ke Agam. Mau tak mau dia memang harus menghadapi dua orang yang akan menatapnya penuh kebencian.

Atau tidak?

Dia disambut dengan pelukan Tante Prita yang biasanya. Juga, Mbak Lily yang menyapa ringan dari arah dapur. Beralih ke sudut lain, Anin melihat Mas Reno bersama para sepupu sedang asyik bermain game di layar TV.

Seperti tidak terjadi apa-apa seminggu lalu.

Tentu. Sama seperti dirinya. Dua orang itu harus mengenakan topengnya. Entah pertanda baik atau buruk. Anin rasa, tidak ada yang baik-baik saja setelah apa yang terjadi minggu lalu. Ini hanya soal waktu, bukan? Mereka dan juga Anin akan membuka topengnya sewaktu-waktu.

Agam melepas tangannya, memberi isyarat agar Anin bergabung dengan para perempuan sementara Agam akan nimbrung di karpet. Makan malam sebentar lagi siap. Anin memasang senyum terbaiknya, bantu mengatur meja makan.

Makan malam mencekam yang sempat Anin bayangkan, tidak terjadi. Meski Oma turut bersedih atas keguguran yang dialami Mbak Lily. Tapi malam ini mereka hanya bertukar kabar yang baik. Tidak ada kabar buruk. Semua pun sepakat. Kesehatan Oma jelas lebih utama.

Di perjalanan pulang, Agam membuka suara. "Yang tadi, ketenangan yang terjadi selama di rumah Oma, aku justru merasa sebaliknya."

"Akting kami tapi lumayanlah. Kamu kasih nilai berapa?" selorohnya.

"Tante Prita—"

"Mungkin karena udah tahu sejak awal, sudah mengantisipasi kalau menantunya bakal labrak aku. Atau kemungkinan kedua, Mbak Lily dan Tante Prita sama-sama nggak tahu kalau masing-masing dari mereka sudah tahu soal aku dan Mas Reno."

Apa pun kemungkinan itu, Agam tidak suka mendengarnya. Anin perempuan terhormat. Perempuan yang ingin dia jaga dengan segala upaya yang dia punya. Dia tidak ingin Anin merusak hal yang tidak semestinya.

Jika pun memang sudah, Agam tidak ingin kelak Anin menyesali banyak hal. Istrinya belum terlambat untuk memperbaiki.

"Nin, kamu bakal kasih aku kesempatan, 'kan?" Mereka sudah berdiri di depan lift basemen, menunggu kotak besi itu turun.

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang