Chapt. 32

3.8K 732 93
                                    

Anin tidak bisa seterusnya menghindari Reno. Sepulang dari restoran, lelaki itu minta bertemu di suatu tempat. Anin yang menentukan untuk bertemu di taman kota. Dia yang tiba lebih dulu. Duduk di kursi besi sambil mengamati beberapa keluarga yang jalan sore bersama buah hati atau pasangan mereka.

Terlihat menyenangkan dan menenangkan. Sayangnya Anin tidak bisa melakukan itu; menghabiskan sore yang tenang dengan seseorang yang dia inginkan terus ada dalam hidupnya.

Menunggu sekitar sepuluh menit, Reno akhirnya datang. Dia duduk di ujung kursi yang lain.

Anin masih terus memandangi gadis kecil yang mengenakan helm, sementara sepeda kecilnya dituntun sang ayah.

"Makasih, Nin."

"Untuk?"

"Kamu udah memilih aku."

Anin melepas pandangan dari gadis kecil, menunduk, tersenyum getir. "Aku yang harusnya berterima kasih, bukan?" tanyanya sarkas. Kemudian menoleh dengan wajah kebas. "Makasih udah hancurin semuanya, Mas."

"Percaya sama aku, ini yang terbaik buat kamu. Aku hanya bantu memudahkan semuanya!"

"Bisa kita bicara tanpa meninggikan suara?" Bukan malu karena akan menjadi tontonan semua orang, Anin hanya tidak punya tenaga untuk balas berteriak dan memaki lelaki ini. "Aku nggak pernah minta apa pun. Harus berapa kali aku bilang, aku bahagia sama Agam. Aku cinta sama dia. Harus bilang dengan apa biar Mas ngerti?"

"Harus berapa kali juga aku harus bilang. Kamu hanya merasa bersalah sama dia, Nin. Kamu nggak cinta sama dia. Dia sengaja bikin kamu merasa bersalah biar kamu nggak bisa ninggalin dia."

"Ya. Aku emang merasa bersalah. Aku nggak pantas hidup dengan orang sebaik dia. Aku harus hidup dengan orang sebrengsek Mas Reno, 'kan?"

Reno melihat ke sekitar yang semakin ramai. "Kita nggak bisa bicara di sini."

"Terus bicara di mana? Depan orangtuaku? Atau depan keluarga besar sekalian?"

"Kamu kenapa?"

Anin benci mendengarnya. Mau dikatakan selembut apa, yang ada di dadanya hanya kebencian. "Aku yang harusnya tanya. Mas kenapa? Kenapa nggak bisa biarin aku hidup tenang?"

"Kamu minta jarak, 'kan? Aku kasih, aku nggak ngejar kamu. Tapi bukan berarti aku biarin kamu semakin jauh."

Bullshit. "Setelah ini, apa? Ngehancurin istri Mas sendiri?"

"Aku lakukan apa pun asal bisa sama kamu." Reno coba meraih tangan Anin tapi ditepis dengan dingin. Lelaki itu berusaha tidak menunjukkan emosi yang berlebihan. Mengimbangi Anin yang terlihat ingin bicara tanpa tarik urat.

Tawa Anin terdengar lelah dan jauh. Punggungnya menyandar di punggung kursi. Tapi tawanya sirna saat gadis kecil yang dia perhatikan sejak tadi sedang menangis karena terjatuh dari sepeda, sang ayah terlambat menangkapnya. Sang ayah sibuk minta maaf seraya mengusap dan meniup lutut putrinya yang sakit.

Andai dia bisa seperti anak itu. Bisa menangis. Bisa mengeluh apa saja yang membuatnya sakit. Tapi yang dia lakukan hanya diam, menelan semuanya. Dia tidak lagi bisa menyalahkan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Dialah yang pertama memilih menyerah.

"Mas tahu satu hal?" Anin akhirnya menatap Reno. Sorotnya begitu hampa. "Aku pernah menilai Mas Reno sebagai seseorang yang baik, seseorang yang aku butuhkan ada di sampingku. Aku kagumi lebih dari yang seharusnya."

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang