Keesokan harinya.
Jam baru menunjukkan pukul 06.00 am. Aku kini tengah duduk berhadapan dengan cermin rias untuk bersiap bertemu sang pangeran. Sebagai pelayan, tentunya.
Aku mulai mengerti tugas yang nantinya akan aku lakukan. Kemarin, seharian penuh Ms.Demish mengajariku habis-habisan. Dan kau harus tahu segalak apa dia. Bisa dibilang, ia jauh lebih buas dari dadku. Entah mengapa aku selalu hidup dikelilingi orang galak.Aku baru tau bahwa pangeran baru tiba tengah malam tadi. Menurut apa yang dikatakan Ms.Demish padaku, pangeran telah selesai menyelesaikan tugas yang berada di negara bagian. Usianya tak kalah jauh dariku. Jika aku berumur 16 tahun, pangeran kini berumur 18 tahun. Banyak pelayan yang seumuran juga denganku mengatakan bahwa pangeran itu sangat tampan. Aku tak tahu setampan apakah dia. Lagipula aku tak peduli. Toh, aku hanya pelayan baginya. Aku tak berharap kejadian di film yang biasa aku tonton tentang budak yang akhirnya menikah dengan tuannya menjadi kenyataan di kehidupanku. Mustahil, menurutku.
Ms.Demish mulai mengepang rambut panjang coklat gelapku dengan rapi. Aku tak mengerti sebenarnya seperti apakah sifat seorang Ms.Demish itu. Dilain sisi, ia terlihat sangat garang. Namun disisi lain, ia peduli dan bertanggung jawab. Mungkin itu alasan mengapa ia menjabat sebagai kepala pelayan disini.
Banyak pelayan yang seumuran juga denganku. Di antaranya bahkan baru berusia 14 tahun. Aku tak mengerti apa yang membuat mereka berada di sini. Dan tanggapan mereka tentang sang pangeran. Kurasa, semua sangat berlebihan. Terkadang, beberapa dari mereka memandangku iri secara terang-terangan.
Ada apa memangnya jika aku menjadi pelayan pribadi pangeran?
Aku tak menyangkalnya, namun kurasa mereka semua sangat ingin berada di posisiku.
"Demish, Pangeran Kevoul Honorich memanggil pelayannya!" Ucap seseorang menyadarkan lamunanku. Tangan Ms.Demish langsung berhenti dari rambutku yang nampaknya sudah amat apik. Aku berdiri memandangnya. Entah mengapa, aku menjadi segugup ini. Oh sadarlah, ini adalah hal pertama, bagiku.
"Jangan mengatakan suatu hal yang tidak akan disukai oleh pangeran. Kau mengerti?" Ucapnya penuh penekanan. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Lalu melangkahkan kakiku untuk pergi ke ruangan pangeran. Perasaanku lebih gugup dari sebelumnya. Aku tak menyangkal bahwa tanganku kini keringat dingin.
Aku melirik gelang dandelion putih yang terpasang di pergelangan tanganku. Biasanya ketika aku gugup, aku selalu menyentuh gelang ini. Semoga gelang ini masih memancarkan energi keberuntungan untuk hidupku.
Aku sudah mengetahui dimana kamar pangeran berada. Aku harus melewati puluhan pintu dan beberapa lorong. Tak sulit menemukannya. Aku menghela nafasku seketika saat aku melihat seorang lelaki tampan yang siap dengan pakaian berkudanya sedang berdiri di depan pintu kamar pangeran. Hey, tunggu-tunggu!
Apakah dia pangerannya?
Aku tak percaya bahwa ternyata perkataan pelayan lain yang sangat mengidamkannya tidaklah berlebihan. Memang inilah sosoknya. Seperti titisan Dewa Zeus yang kini sedang tersasar di dunia. Mata biru dan rahang kokohnya sangat tepat dipadukan dengan tubuhnya yang sepertinya sangat dijaga untuk berbentuk. Aku bisa membayangkan bagaimana perut kotak-kotak yang pastinya sangat mengagumkan.
"Mengapa kau masih disana?" Ucapnya seketika berhasil membuat empeduku naik kemulutku. Ketampanannya sepertinya berbanding terbalik dengan bagaimana ia bersikap dan sifat aslinya. Hey, Requeen.
Biarkan saja dia. Dia adalah seorang pangeran. Ia patut untuk sombong karena ia adalah satu-satunya anak raja yang diagungkan, sisi lain dari diriku berbicara. Yeah, ada benarnya juga.Aku berhasil melangkahkan kakiku setelah terbebas dari lamunan liarku. Menghampiri pria yang sungguh membuatku gugup setengah mati. Okey, Requeen. Kau bisa menghadapi ini. "Maafkan aku, pangeran."
"Kau pelayan pribadiku yang baru?" Tanyanya mampu membuat hatiku mulai gondok. Jika ia tidak sebegitu tampannya, mungkin aku sudah melemparkan sepatuku ke wajahnya yang mulus itu. Namun, aku hanya mengangguk tanpa memandangnya. Oh mana berani aku berperilaku seperti itu terhadap pangeran. Sadarlah bahwa aku sudah dibuang lalu dijual oleh dadku sendiri. Aku tak mau menjadi gelandangan karena diusir akibat aku melemparkan sepatuku ke wajahnya. Tidak. Aku tak bisa membayangkannya.
Mataku masih memilih memandang lantai poreselen yang mahal dibanding wajahnya yang rupawan. Aku terlalu gugup dan takut melihat matanya yang memandangku antagonis. Sedetik itu pula, aku mendengar samar suara tawa sarkastik pangeran yang berada di hadapanku. "Aku tak suka berbicara dengan seseorang yang tidak mau memandangku."
Perkataannya berhasil membuat wajahku mendongak untuk menatapnya. Tubuhnya cukup tinggi. Aku saja hanya sepantaran bahunya. Dengan gugup dan takut aku memandangi matanya yang hanya bisa membuatku menyesali perbuatanku.
Matanya yang indah seakan bisa menghipnotisku untuk mengikuti setiap sugesti yang ia berikan. Ia meraih daguku. Membalas memandang mataku dengan lekat. Aku hanya bisa terdiam dan tidak bisa berpikir apa-apa. Syarafku seakan telah terputus dan tidak lagi terhubung dengan otak yang mengendalikannya. Mata birunya seakan memiliki ruang luas seperti langit biru di luar sana. Aku tidak menyangkalnya, namun sekali lagi kuperingatkan bahwa ia sangatlah tampan.
Aku berdeham. Membuatnya bergerak untuk melepas daguku lalu membuang pandangannya kearah lain. Aku tak tau darimana aku berhasil mengembalikan kerja syarafku. Otakku kembali bisa perpikir. Aku masih memandangnya ragu, ketika ia kembali berbicara, "pertama, turuti apa yang aku perintahkan. Kedua, jangan banyak bertanya. Ketiga, jangan melakukan kesalahan sedikitpun. Keempat, jangan terlambat untuk membangunkanku dipagi hari. Kelima, aku memaafkanmu yang tidak membangunkanku hari ini karena ini adalah hari pertamamu. Dan yang terakhir, sadarlah seperti apa posisimu." Ucapnya tajam. Aku hanya mengangguk mengerti. Menelan semua apa yang ia katakan. Aku tidak berharap banyak. Aku tau bahwa aku pelayan. Dan aku akan berusaha untuk tidak melewati batasku.
Kakinya mulai melangkah entah kemana. Aku hanya memperhatikannya dari belakang ketika ia menolehkan kepalanya lagi.
"Mengapa kau masih disana? Cepat ikut aku."
Next??
KAMU SEDANG MEMBACA
Requeena (New)
RandomAku manusia. Aku memiliki hati yang tidak sekeras batu granit. Bagaimana cara aku mendengar setiap perkataan mereka. Bagaimana dengan caraku menyikapi setiap perilaku mereka. Aku hanya bisa diam dan berpura-pura tidak memperdulikan mereka. Namun, h...