Hari mulai terang.
Malam yang gelap kini telah terganti oleh cerahnya pagi hari. Matahari mulai muncul dari ufuk timur. Sementara bulan bergegas untuk pergi dari langit.
Aku kembali duduk di tempat yang sama seperti tadi malam. Di tengah rerumputan padang dandelion putih yang bermekaran. Dan kakiku kini lumayan baik. Aku tidak perlu lagi memakai tongkat. Namun, tetap saja. Aku masih sedikit pincang ketika berjalan. Aku kira, kakiku akan sembuh memakan waktu yang sangat lama. Namun, ternyata mungkin ramuan itulah penyebabnya. Ramuan tabib kerajaan.
Otakku melayang entah kemana. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memikirkan hal yang sama sepanjang malam. Aku masih tak mengerti siapakah aku ini. Padahal aku sudah hidup selama 16 tahun lamanya.
Pangeran Kevoul Honorich mengalihkan tugasku sebagai pelayan pribadinya. Aku bahkan tidak yakin apa tugasku di kerajaan ini. Dan mengapa aku masih berada disini. Aku dilarang bekerja. Alhasil yang bisa aku lakukan hanyalah terdiam ditemani angin yang berhembus dan pemandangan indah yang dihasilkan dari ratusan bahkan ribuan bunga dandelion putih.Seketika, seseorang mengamit tanganku dan menariknya. Mengajakku bangun dan berlari meninggalkan tempat itu. Pangeran Kevoul Honorich. Oh ada apalagi dengan pangeran yang kepalanya terbentur ini?
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku merasa kaget atas kehadirannya. Ia mengamit tanganku dan berlari. Bahkan ia menyeretku. Aku berusaha untuk melepaskan cekalan tangannya. Namun, tentu saja. Bisa apa aku saat pangeran mencengkram tanganku. Tenaganya jauh lebih kuat dariku.
"Diam dan jangan memberontak." Ucapnya penuh perintah. Masih berlari menyeretku seakan aku adalah anjingnya. Apakah ia tidak tahu kakiku belum sepenuhnya pulih?
"Kau mau membawaku kemana?" Aku bertanya lagi. Menghiraukan perkataannya padaku. "Jangan menyeretku. Kakiku masih sakit."
"Ke ruangan raja." Jawabnya mengentikan langkahnya. "Kakimu menyusahkan saja." Sambungnya lalu kembali berjalan dan menyeretku.
"Bukankah aku seperti ini juga karenamu?" Ucapku dongkol. Masih menahan sakit atas perilakunya. "Untuk apa kau..."
"Bisakah kau diam sebentar?" Bentaknya membuatku menutup rapat mulutku. Ia terlihat sangat mengerikan jika sudah seperti itu. Aku masih memandangi jalan yang aku lalui. Takut tersandung bahkan terjatuh. Bisa saja 'kan? Ia memang benar-benar menyeretku. Apakah ia tak berpikir perbandingan langkah besarnya dengan langkah yang aku gunakan? Seharusnya ia memikirkannya.
Aku masih merasakan tangan yang mencekal pergelangan tanganku. Dan kakinya yang masih melangkah dengan seenaknya. Aku mulai merasa nyeri. "Ini sakit." Eluhku. Namun, ia justru diam dan tidak merubah apapun.
Oh apakah salahku jika aku bertemu dengannya.
Pintu ruangan raja mulai terlihat. Pintu mewah dengan lapisan emas. Pintu itu sangat besar dan tinggi. Bisa kuperkirakan tingginya mencapai tiga kali lipat tinggi tubuhku. Pangeran mendorong pintu itu dengan tergesa-gesa. Lalu masuk dengan tangannya yang masih mencengkram tanganku.
"Dad, aku mau berbicara." Ucap pangeran.
"Sudah berapa kali aku bilang untuk mengetuk pintu, Kevoul?" Geram raja.
Kurasa ia menatap pangeran dengan tatapan tajam. Lalu kembali berbicara, "ulangi cara kau memasuki ruanganku. Baru dad akan bersedia berbicara denganmu." Sambung raja yang membuat pangeran mendesah. Ia melepas cengkramannya pada tanganku lalu beranjak keluar.
Aku yang bingung ingin melakukan apa, memilih untuk mengikutinya. Mengulang memasuki ruangan raja yang megah dan besar ini. Aku melihat beberapa tiang berwarna emas dan guci-guci serta lukisan yang tak tertandingi. Kurasa semuanya berseni tinggi. Banyak pengawal yang berdiri di sepanjang karpet yang terbentang memanjang. Aku ingin bertanya;
Apakah tidak bosan terdiam sepanjang hari seperti itu? Karena jika diperhatikan, wajah mereka terlihat datar.
Mereka pasti selalu berdiri terdiam. Seperti patung-patung yang tidak berekspresi.
"Jangan berpikir untuk kabur." Perkataan pangeran membuatku tersentak dari lamunanku. Lagipula siapa yang memikirkan untuk kabur?
Walaupun sebenarnya aku sangat ingin.
Tangannya mulai mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni. Lalu masuk kembali ke dalam ruangan raja. Melintasi karpet yang membentang hingga sampai di tempat raja dengan tahta kebesarannya. Pangeran menunduk hormat. Di ikuti denganku yang berada di belakang pangeran.
"Aku ingin berbicara, dad." Ucapnya lalu mendapat anggukkan raja dari kursi megah tahtanya. Aku tak mengerti apa yang pangeran lakukan hingga raja memerintahkan semua pengawal dan yang lainnya untuk pergi dari ruangan. Dan sekarang, ruangan besar ini terasa sepi karena hanya ada aku, pangeran, dan raja yang tetap disini.
"Ada apa, Kevoul?" Tanya raja tidak menghilangkan sisi tegas dan wibawanya sebagai raja di negeri ini.
"Aku ingin melakukan tes darah. Antara dad dan Queena." Jawab pangeran yang membuatku membelalak sedikit kaget atas permintaannya. Apa-apaan? "Aku tahu dad sudah yakin atas keberadaannya sebagai anak dad. Bukan kepala pengawal yang menjadi selingkuhan mom." Sambung pangeran lalu terdiam.
"Lalu?" Raja kembali bertanya.
"Aku ingin ia menjadi adikku yang diakui, dad. Aku tahu tes darah tidak penting bagiku lagi karena aku sudah yakin atas siapa dirinya. Aku hanya ingin membuat semua masyarakat negeri ini juga bisa mempercayainya. Bahwa ia adalah anak yang sah bagi dad." Jawab pangeran dengan tegas. Aku hanya terdiam memandangnya. Entah apa yang ada di dalam pikiranku. Dan sebenarnya bagaimana perasaanku saat ini. Apakah sedih atau justru berbahagia?
Kurasa, dua-duanya bahkan tidak cocok dengan apa yang tengah kurasakan.
"Sulit membuat orang lain percaya, Kevoul. Rumor itu menyebar luas bahkan bukan hanya di negeri ini. Namun seluruh dunia. Semua tercatat dalam sejarah." Raja kembali memberi tanggapannya. Aku seperti kemarin yang hanya diam memperhatikan perdebatan mereka. Seperti nyamuk yang hanya menjadi pengganggu.
"Maka dari itu tes darah dilakukan, dad. Jika tes itu terbukti sah, maka tak akan ada yang bisa menyangkalnya. Sejarah akan berubah. Ia adalah anak kandungmu. Dan ia akan hidup layak di kerajaan ini. Bukan lagi di sebuah toko roti kecil." Ucapan itu entah mengapa berhasil menendang bagian yang membuat hatiku menohok. Aku menjadi beranggapan bahwa hidupku memang tidak adil.
"Baik. Dad meyetujui permintaanmu. Kapan tes itu dilakukan?" Raja masih dengan wibawanya mulai bangun dari kursi megahnya dan berjalan menuju pangeran.
"Sekarang," Jawab pangeran.
Matanya bergerak memandangku dengan sorotan yang tak bisa ku artikan.
Oh ayolah. Apa lagi ini?
TO BE CONTINUED...
KAMU SEDANG MEMBACA
Requeena (New)
De TodoAku manusia. Aku memiliki hati yang tidak sekeras batu granit. Bagaimana cara aku mendengar setiap perkataan mereka. Bagaimana dengan caraku menyikapi setiap perilaku mereka. Aku hanya bisa diam dan berpura-pura tidak memperdulikan mereka. Namun, h...