Epilog : Author's POV

160 6 1
                                    

Pemakaman memang tempat manusia untuk tinggal dan pergi ke alam dimensi yang berbeda.

Pemakaman yang dipenuhi dengan semua hal yang hitam berbau duka. Air mata yang bergelinang dan jatuh sebagai tanda rasa kehilangan yang tengah dirasakan bagi orang yang ditinggalkannya. Namun, pria berambut gelap itu tampak terdiam. Wajahnya datar tidak berekspresi. Rahangnya yang keras menampilkan ketegasan di tengah rasa duka yang tengah melandai kerajaan The Kingdom Of Vic Proudly. Setidaknya, bagi Raja Honorich.
Puterinya.

Gadis itu kini pergi lagi dari dekapannya. 16 tahun ia dikabarkan mati bersama mendiang istrinya. Namun, kini ia benar-benar terkubur dalam peti yang dilapisi emas yang mahal. Rasanya tidak begitu bagus. Sang raja kini telah benar-benar kehilangan puterinya yang sempat ia ragukan.

Hey! Gadis itu adalah puterinya yang tersiksa akan kejamnya hidup yang ia terima! Apakah ia tak bisa melihatnya?

Ayah macam apa dia yang bahkan tidak bisa menjaganya? Ayah macam apa dia yang bahkan takut mengakui keberadaannya hanya karena trauma akan pemberontakkan yang dahulu pernah terjadi?

Kini rasa takut yang melanda bahkan bertambah besar. Bukan. Bukan pemberontakkan lagi yang ia takutkan. Namun rasa kehilangan atas apa yang orang-orang berikan padanya. Gadis itu mati. Ia pergi. Bahkan saat hidupnya tak bisa merasakan kemewahan seperti yang ia rasakan. Ia telah mati. Bahkan ia tak benar-benar sempat merasakan dekapan dari ayah kandungnya. Ia kini telah pergi.

Namun, ia harus melakukan apa?
Menyadarkannya sambil menangis darah agar ia terbangun? Atau berteriak meminta Tuhan untuk mengembalikan gadis itu ke sisinya kembali? Atau apa? Apa yang harus ia lakukan?

Semua hanya omong kosong. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali memandang peti yang perlahan mulai turun lalu dimasukkan ke dalam bumi.

Memangnya ia harus melakukan apa?
Tak jauh berbeda dari perasaan seorang Raja Honorich, lelaki berambut yang sama gelapnya dengan sang raja dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku juga merasakan duka yang sama. Ia tidak menangis. Tak ada setetes pun air yang keluar dari pelupuk matanya. Namun, percayalah akan satu hal,

Hatinya kini tengah menjerit.

Ia tidak lagi kuat untuk tetap bertahan melihat semua orang yang ia sayangi telah mati. Ibunya yang pertama kali melakukannya saat ia bahkan baru berusia 2 tahun. Yang menyebabkan hatinya kokoh untuk menjadi lelaki yang kuat, dingin, dan kejam. Ia tidak bisa lagi menerima hal yang sama untuk yang kedua kalinya. Mati karena dibunuh? Yang benar saja!

Apa lagi yang terjadi padanya jika gadis itu mati? Adiknya telah mati.

Do'a telah mengiringi jalannya Queena untuk memasuki alam gelap yang sepi. Orang-orang kini bergegas meninggalkan tempat pemakaman. Para pengawal memandu raja yang sedari tadi diam dan tidak berbicara. Namun, Pangeran Kevoul tetap diam di tempatnya.

Pikirannya bernostalgia saat pertama bertemu dengan gadis berambut gelap yang sama dengannya, memiliki kepangan kecil yang terlihat apik di rambutnya. Lalu bagaimana pangeran menatap mata yang sama dengan apa yang dimiliki ayahnya. Ia bahkan sempat memerintahkan suatu hal yang tidak wajar seperti mengejarnya saat ia menunggangi kuda. Bibirnya tersenyum mengingat hal yang dilakukan gadis bodoh itu. Dan bagaimana cara ia membiarkan mulutnya yang terus berceloteh.

Ia memikirkan bagaimana ketika ia tak lagi melihat gadis itu di belakangnya. Lalu menemukannya dan membawanya ke balai pengobatan hingga ia akhirnya menyadari gelang yang terpasang di pergelangan tangan kanan gadis itu.

Saat ia mulai menyadari siapakah gadis itu sebenarnya.

Saat masa klimaks itu datang. Ketegangan ketika acara pengangkatan Queena yang berakhir tragis. Saat punggungnya ditembak oleh anak panah yang meluncur menembus jantungnya. Ketika bahkan ia belum sempat memanggil Kevoul dengan sebutan kakak yang seharusnya. Dan memanggil raja dengan sebutan ayah.

Requeena (New)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang