42 |Baikan

210 24 1
                                    


.

.

"Ayah akan menikahinya dalam waktu dekat ini."

Aku terdiam sejenak. "Ka-kapan?" tanyaku hati-hati.

"Setelah kita selesai ujian semester."

Seingatku ujian semester diadakan tiga bulan lagi. Masih cukup lama. Aku melirik takut-takut ke arah Haechan yang sedang menatap lurus ke depan. Apa Haechan terbebani karena ayahnya menikah lagi? Setahuku ia setuju-setuju saja punya ibu baru. Jadi apakah gerangan yang membuat beruang ini terbebani? Dengan ayahnya, bukankah mereka masih perang dingin?

"Calon ibu baruku sudah beberapa kali mengunjungi rumah kami. Orangnya baik dan ramah terhadapku. Dia juga sepertinya benar-benar mencintai ayahku dan menerimaku dengan tulus."

"Tentang pernikahan mereka, aku sama sekali tidak menentangnya. Hanya saja posisi ibu kandungku tetap tidak tergantikan di hatiku." lanjutnya. Aku ikut merasakan kesedihan bagaimana ditinggal sesosok ibu dalam hidup ini. Walaupun aku hanya ditinggal ibu pergi jauh, sedangkan Haechan ditinggal ibunya untuk selama-lamanya.

Tangan Haechan menuntun wajahku agar mendongak menatapnya. Ia tersenyum kecil. "Sepertinya aku akan mulai memperbaiki hubunganku dengan ayah. Aku sadar selama ini aku bersikap kekanak-kanakan dengan menyalahkan semuanya kepada ayah atas kematian ibuku. Takdir memang tidak bisa ditebak. Aku membencinya datang disaat hidupku butuh kasih sayang seorang ibu, tetapi seberapa kerasnya aku menangis pun itu tidak bisa mengembalikan nyawa ibu lagi."

Aku tersentak saat butiran air jatuh ke atas jemariku. Haechan menangis. Aku segera memeluknya menenggelamkan wajahnya ke bahu sempitku.

"Tidak apa-apa, kau tidak salah waktu itu. Wajarkan pemikiranmu masih polos. Jangan menyalahkan siapapun. Banyak orang yang masih menyayangimu termasuk aku, ayahmu dan teman-teman sekolah kita."

Pelukan di punggungku mengerat. "Aku salah melampiaskan kesepianku di sekolah. Ibu di atas sana pasti akan marah dengan kelakuan nakalku. Anak macam apa aku ini?" kekehan hambar terdengar di ujung suaranya. Haechan sedang berada dalam titik terlemahnya sekarang. Aku berpikir berapa lama Haechan memendam kesedihan ini? Pasti sulit hingga pelampiasannya ke arah yang salah.

"Kau anak yang baik Chan. Ibumu pasti bangga karena mau berubah. Pelan-pelan saja, aku pasti selalu mendukungmu."

Pelukan kami terlepas, namun kedua tangan Haechan masih memegangi pinggangku. Aku mengusap lelehan air mata di pipi gembilnya.

"Terimakasih Injun, kau memang sahabatku yang paling baik." Ia tersenyum secerah matahari di pagi hari. Senyumnya menular padaku. "Syukurlah, jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihanmu. Jika kau butuh tempat bersandar carilah aku. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu."

Ia terkekeh geli. Hanya sebatas itulah kemampuanku merangkai kata-kata. Aku tidak bisa memilih kata-kata yang bijak seperti di novel-novel.

"Kalau malam hari harus ditutup. Nanti perampok masuk dan menculikmu bagaimana?"

"Aish! Bukan itu maksudku Chan!"

Beruang itu tertawa lepas melihat wajah kesalku yang terlihat sangat menggemaskan di matanya.

"Jangan merajuk dong, nanti cantiknya hilang." Aku tidak menggubris perkataannya, memilih melihat pemandangan kota di siang hari lebih menarik ketimbang melihat wajah jahil Haechan.

"Injun."

Kedua pipiku ditangkup oleh tangan besar Haechan hingga kini wajahku dengan wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja.

"C-chan.." Aku mendadak gugup saat ditatap sebegitu intensnya oleh Haechan.

"Kau masih ingat dengan hutang satu keinginanku yang masih belum dilaksanakan?"

Terjebak dalam Tubuh Huang Renjun ft. NCT DREAM✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang