"Dari sini, bisa terlihat. Kamu mulai tertarik dan mengejar aku bukan?"***
Kaila menepuk tangannya pelan dengan guratan senyum menghiasi wajah melihat dekorasi gedung acara ulang tahun kakek Aslan terlihat mewah. Gaby yang berada di sebelah Kaila menggeleng takjub. "Nalian tahu banget apa yang kakek suka."
"Gue nggak bisa bayangin gimana kalau mereka nikah. Pasti gedungnya akan jauh lebih mewah dari ini. Apalagi nikahnya sama pewaris De Jung,"timpal Mahesa.
Gaby berdesis pelan. "Tetapi, gue kesel. Masa iya belum cinta juga. Berbulan-bulan Baily sama Nalian. Nggak ada rasa suka sama sekali."
"Ya maklumin aja. Sahabat lo satu itu emang batu persis kayak kepala lo ini,"ujar Mahesa mengetuk kepala Gaby.
Kaila terkekeh ringan menyaksikan wajah cemberut Gaby akan aksi jahil dari Mahesa. "Ngomong-ngomong. Terhitung sisa 2 jam lagi acara akan dimulai. Kenapa mereka belum nampakin diri? Ini gue rasa kita bertepuk sebelah tangan terlalu excited sama ulang tahun keluarga orang. Tetapi, orang yang punya acara malah biasa aja."
Mahesa terkekeh ringan. "Apa yang lo harapkan dari keluarga yang tinggal terima jadi?"
"Perlu bikin keributan nggak buat mancing mereka berdua ke sini?"usul Gaby menaik-turunkan alis.
Kaila menggeleng tegas. "Gue nggak mau di omelin tante Dania kalau Baily dan Nalian jadi ribut. Apalagi ini ulang tahun kakek Aslan. Takut gue."
"Udah lanjut cek yang lain. Lumayan bantu ginian doang bayarannya dapet kerja dengan gaji gede. Coba aja Nalian kasih sahamnya ke gue. Asli, gue mau,"ucap Mahesa asal.
Gaby mencibik. "Ngarep banget. Siapa lo?"
Di sisi lain.
"Bunda, sahabat kak Ily kenapa berisik semua ya? Mereka niat kerja nggak sih?"protes Freysa menepuk lengan kanan Hara berulang kali.
Hara tersenyum simpul melihat interaksi Gaby, Kaila, dan Mahesa yang sesekali melempar candaan. "Mereka cuma bantu secara sukarela ngurus semua ini. Mereka senang menyambut perayaan ulang tahun kakek. Keluarga kita aja nggak pernah gitu,"ujar Hara.
Freysa menaikkan alis. "Nggak dibayar gitu? Kok mau aja ya? Padahal keluarga kita nggak dekat sama sahabat kak Ily."
"Hmm, dengar-dengar kakak kamu kasih posisi bagus di perusahaan. Ah udahlah, jangan di pikirin. Mending kita siap-siap,"ujar Hara menarik tangan Freysa sebelum anaknya itu mengeluarkan sumpah serapahnya.
Cih, bantuin ternyata ada maksud, maki dalam hati.
***
Baily menghembuskan nafas kasar masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka paling atas dari sebuah gedung yang di kunjunginya. Beberapa kali melirik ke arah jarum jam dengan gugup dan menggigit bibir.
Tring!
"Eh?"
Baily memundurkan langkah ketika Nalian berdiri di depan lift dengan wajah kebingungan. "Kenapa ke sini?"
Baily mendorong tubuh Nalian dan membawa lelaki itu masuk ke dalam ruangannya. Nalian hanya bisa pasrah tangannya di tarik dan mulai membuka suara setelah pintu ruangan di tutup rapat oleh Baily.
"Kenapa lo nggak hubungin gue perihal perayaan ulang tahun kakek jam berapa?"
Kening Nalian mengkerut. Kenapa ia harus memberitahukan jam perayaan ulang tahun kakeknya, kalau Baily saja bisa bertanya pada orang tuanya? Seharusnya, dari situ Baily sudah bisa paham dan tidak harus datang ke kantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Askara Dama Mengharap Amerta
FanfictionSeperti halnya askara dama mengharap akan amerta. Bisakah sang pewaris utama De Jung berharap pada sang pencipta bahwa kehidupan akan di limpahi oleh harsa-nya? Saat harapan akan dewa cinta datang dari sebuah momen perjodohan. Ia harus mengalami sit...