32

54 11 8
                                    

"Gimana perasaanmu sekarang?"tanya Aslan menatap Nalian yang terdiam di tepi kolam renang.

Nalian mengangkat bahunya. "Dari sekian banyak hal yang sudah aku alami, sampai aku nggak bisa mengartikan apa yang aku rasa. Aku kira dengan menutupi semuanya, akan terus tertutup selamanya."

"Kakek baru tahu kalau Baily adalah orang yang kamu suka. Kalau saja dari awal kamu bilang sama Kakek, sudah pasti kamu yang akan Kakek pilih. Jadi, tidak perlu ada perjanjian konyol semacam pengasinganmu itu,"ucap Aslan.

Nalian menghela nafasnya panjang. "Maaf, Kek. Harusnya aku jujur dari awal. Mungkin, kejadiannya tidak akan seperti ini. Aku nggak tahu lagi sekarang harus gimana. Aku takut, Kek. Takut ini kesempatan terakhirku bersama Baily. Aku belum siap kehilangan dia."

"Kamu tunggu sampai Baily tenang ya? Setelahnya kita bicarakan secara serius. Jika Baily benar-benar tetap pada keputusannya, mau tidak mau kamu harus menjalankan sesuai janjimu,"ujar Aslan.

Nalian mengangguk. "Iya, Kek. Aku akan coba untuk menerima semuanya. Ini semua juga salahku. Harusnya tidak perlu ada kebohongan sejak awal."

"Kamu benar-benar sakit saat Baily mengembalikan cincinnya?"tanya Aslan.

Nalian berdehem. Ia mengusap cincin yang masih ia pakai di jari manisnya. "Sakit sekali. Aku kira kisah cintaku akan indah setelah jujur akan perasaanku sendiri. Terlalu larut dalam kebahagiaan, membuat aku lupa bahwa masih ada kebohongan yang aku pendam. Rasanya saat ini menyesal pun sudah terlambat."

"Jadikan pelajaran untuk ke depannya agar tidak sembarangan dalam membuat keputusan. Waktu itu, kamu terlalu gegabah. Ini salah Kakek juga langsung menyetujui keputusanmu,"sesal Aslan.

Nalian menggeleng. "Kakek tidak perlu merasa bersalah. Waktu itu aku yang memaksa Kakek untuk menyetujui permintaanku. Aku minta maaf sudah membuat keluarga De Jung malu akan tingkahku. Aku belum bisa menjadi manusia yang baik."

"Kamu renungkan semuanya, ya? Kakek harap kamu tidak melakukan kesalahan lagi. Lebih baik kamu tidur saja. Besok kamu kerja. Kamu perlu menjaga kesehatan supaya tidak mudah sakit,"ucap Aslan.

***

"Kalau mau bahas cowok itu, aku lagi nggak mood,"ucap Baily melihat Fadlan dan Dania ikut bergabung menonton siaran televisi.

Dania menaikkan sebelah alisnya. "Siapa juga yang mau bahas Nalian. Bilang aja kamu kangen sama dia. Masa tahan 2 hari nggak ketemu."

"Aduh berisik. Aku mau nonton tv lagi seru nih,"ucap Baily menaikkan volume televisi.

Fadlan menghela nafas. "Kamu perlu membicarakannya lagi sama Nalian. Jangan ambil keputusan secara sepihak, Baily."

"Bisa nggak, kalian kasih aku ketenangan? Aku sudah mutusin untuk nggak melanjutkan perjodohan itu. Kali ini aku serius. Apa itu belum cukup?"

Dania mengusap pundak kanan Baily. "Mami tahu kamu tidak suka di bohongi. Alangkah baiknya kamu renungkan dulu sampai kamu benar-benar yakin untuk mengambil keputusan. Setidaknya, lihat sisi baik dari aksi Nalian agar bisa dekat sama kamu Baily. Dia berjuang keras loh untuk bisa dapetin hati kamu. Menunggu orang yang kita sayang, untuk melihat kita selama bertahun-tahun itu tidak mudah."

"Mungkin bagi Papi dan Mami, dia adalah orang yang tulus. Tetapi, itu semua nggak cukup kalau dari awal di dasari dengan kebohongan. Dia bisa saja deketin aku tanpa harus pakai cara kotor seperti itu,"gumam Baily.

Fadlan memberi isyarat pada Dania agar tidak melanjutkan ucapannya. Ia sangat paham jika apa yang di rasakan Baily saat ini sangatlah valid. Tidak ada toleransi akan kebohongan putih maupun kebohongan besar yang dilakukan oleh orang di sekitarnya.

Askara Dama Mengharap AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang