33

35 11 0
                                    


"Bagaimana tidur kamu?"tanya Dania melihat Baily keluar dari dalam kamarnya sembari menguap.

Baily yang masih memakai piyama hanya bisa mengangkat bahunya acuh. "Seperti biasa selalu nyenyak."

"Nyenyak disaat hari ini Nalian benar-benar nggak bisa kamu temui lagi?"tanya Fadlan dengan wajah datarnya.

Baily bisa melihat jika ada amarah di wajah kedua orang tuanya. Ia sangat paham kenapa Fadlan dan Dania bisa semarah itu. Terlebih Nalian melakukan semuanya hanya untuk Baily. Tetapi, mau bagaimana lagi? Namanya kebohongan, akan selalu disebut kebohongan.

"Aku sudah bilang berkali-kali, bahwa semua sudah keputusanku untuk memutuskan hubungan dengan dia. Jadi, jika ini adalah waktu untuk dia pergi yasudah relakan saja. Kita tetap bisa melanjutkan hidup kok,"ucap Baily dengan nada penuh ketenangan seakan tidak ada rasa khawatir dalam benaknya.

Dania menghela nafas. Ia benci dengan rasa ego yang bersarang dalam tubuh anak bungsunya. Bukannya tidak ingin mengerti akan perasaan Baily. Namun, ia merasa amat bersalah pada keluarga De Jung karena sudah membuat semuanya menjadi kacau. Jika ia tahu sejak awal soal kesepakatan Nalian bersama Aslan, sudah pasti Dania memilih membayar uang daripada menjodohkan Baily.

"Kamu nggak merasa bersalah sedikitpun sudah membuat anak orang jauh dari keluarganya? Nalian berusaha keras membuat kamu bisa mewujudkan impianmu, Baily. Setidaknya datang ke dia dan memohon sama Kakek untuk membatalkan kesepakatan itu. Kamu tidak harus kembali sama dia. Paling tidak, sekarang giliran kamu mengusahakan hal yang sama seperti apa yang sudah Nalian usahakan,"ucap Fadlan.

Baily mengusap wajahnya. Ia terdiam sejenak untuk menetralkan emosi agar tidak meluap sebab ini masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran. "Oke, akan aku lakukan. Kalau seandainya Kakek tidak mau, jangan paksa aku lagi."

"Lebih cepat lebih baik untuk datang ke sana. Daripada kamu menyesal,"tutur Dania.

Baily segera bangkit dari duduknya dan ia berjalan menuju kamarnya. Dia pikir tidak apa jika mandi terlebih dahulu. Rasanya tidak nyaman jika datang ke rumah orang lain dengan wajah kusut khas orang bangun tidur.

.

.

Sementara itu

"Kek, aku titip surat ini sama Baily ya? Tolong sampaikan pada dia bahwa sampai kapanpun aku masih akan mencintainya,"ujar Nalian memberikan sepucuk surat pada Aslan.

Aslan dengan mata berkaca-kaca hanya bisa mengangguk. "Meskipun kamu bodoh merelakan segalanya demi orang yang kamu cintai. Tetapi, Kakek bangga padamu."

"Maaf aku belum bisa bahagian Kakek. Seandainya sejak awal aku tidak merahasiakannya, mungkin perjodohan impian ini akan terjadi dan tentu saja Kakek akan bahagia punya cicit,"lirih Nalian.

Aslan mengusap pundaknya lembut. "Selama ada di sana, jagalah diri dengan baik. Apa yang sudah Kakek ajarkan, kamu praktekan di sana. Pasti rasanya amat sulit. Tetapi, boleh kan sesekali Kakek ke sana untuk melihat kamu?"

"Boleh. Asal jangan bawa apapun karena dalam kesepakatan, aku tidak akan menerima apapun lagi dari keluarga ini,"jawab Nalian.

Aslan merengkuh tubuh tegap Nalian. "Maafkan Kakek. Sebenarnya sangat berat untuk Kakek jauh dari kamu, Nalian."

"Aku juga, Kek. Aku belum sepenuhnya siap. Tetapi, aku bisa apa? Aku harus menepati janjiku sama Kakek. Aku nggak mau ingkar janji,"ucap Nalian tersenyum simpul.

"Nalian,"panggil Harsa.

Nalian berjalan ke arah Ayahnya. "Ayah, akan baik-baik saja tanpa aku, kan?"

"Tidak ada orang tua yang akan baik-baik saja, Nalian."

Askara Dama Mengharap AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang