BUGH
"AWW!! HEH PELAN-PELAN, FIR'AUN! BENJOL NIH KAKI AKU!!!"
"Misuh sekali lagi, papa potong uang jajan kamu!"
"Ehe maap baginda. Hamba keceplosan."
Sadana memijat pelipisnya pelan. Di depannya ada Sakala sedang cengengesan tanpa dosa. Anak itu sama sekali tidak menunjukkan raut takut melihat wajah papanya yang sedikit lagi bakal mengamuk. Belum ada sepuluh menit Sadana menginjakkan kaki di rumah mendadak kepalanya diserang rasa pening. Bagaimana tidak, pulang-pulang Sadana malah menemukan putra tunggalnya itu berwujud aneh. Rambut yang biasanya Sadana lihat cuma sebatas poni hampir menutupi mata, sekarang malah bisa dicepol. Padahal baru ditinggal lima bulan ke luar negeri, wujud Sakala sudah berubah sedemikian rupa.
"Potong rambut sekarang!"
Tentu saja Sakala menggeleng, dia susah payah manjangin rambut malah disuruh potong. "Keren loh, pa. Rambut aku kaya Eren Yeager," ucapnya sambil mengusap rambut gondrongnya kebelakang.
Sadana mendelik ngeri, alih-alih terlihat seperti Eren Yeager di Attack on Titan, dimatanya Sakala malah mirip Udin, bujang lapuk yang suka nongkrong di pos ronda. Kayanya udah kena LCD-nya anak ini.
"Sakala Ikhbar Malik..."
Ouhh raut wajah Sakala yang tadinya cengengesan seketika berubah tegang. Papanya tuh kalau sudah berucap dengan nama panjang artinya sedang tidak main-main. Tapi Sakala juga tidak rela memotong rambutnya begitu saja. Lima bulan lalu, setelah Sadana pergi keluar negeri untuk urusan pekerjaan, ia dengan mantap mulai memanjangkan rambut. Sebenarnya gara-gara diracuni sama Ero sih, sahabat klopnya. Katanya biar makin bestie harus sama-sama gondrong.
"Ihh pa, sayang tau. Janji deh bakal rawat dengan baik." Sakala mencoba peruntungan dengan negosiasi sedikit, kali aja Sadana luluh dengan muka melasnya.
"CEPETAN POTONG KE MANG JUAR ATAU PAPA YANG POTONGIN PAKAI PISAU!!!"
Sakala lari terbirit-birit keluar dari rumah menuju barbershop punya mang Juar yang cuma dua puluh meter dari rumahnya. Daripada kepalanya ikut kepotong mendinglah Sakala potong rambut ke mang Juar aja.
◽◾◽
Sembari menunggu Sakala kembali, Sadana segera membereskan barang-barangnya. Dua koper besar dan satu tas tenteng berukuran sedang segera ia pindahkan ke kamar. Sadana mengecek seluruh rumah, dari ruang tamu, kamar-kamar, halaman, ruang makan, dapur, loteng, sampai gudang. Alhamdulillah semuanya aman. Berarti selama kepergiannya, Sakala tidak melakukan hal-hal aneh, seperti membuat percobaan meledakkan rumah.
Kini pria yang sekarang berusia tiga puluh empat tahun itu sudah siap duduk di ruang tengah, menanti kedatangan sang anak. Di depannya ada sebuah laptop yang menyala, menampilkan room chat WhatsApp dengan seseorang. Disanalah semua dosa-dosa Sakala selama Sadana tidak ada dilaporkan. Yakali Sadana meninggalkan Sakala tanpa pengawasan. Ia sengaja membiarkan anak itu sedikit bebas lima bulan terakhir dan sekarang saatnya untuk menyidang.
Sepuluh menit kemudian, Sakala masuk ke rumah dengan wajah lesu. Rambutnya telah terpotong rapi persis seperti dulu. Ia hanya menyisakan poni agak panjang. Hatinya ia terus menggerutu gara-gara papa dia gagal cosplay jadi Eren Yeager.
"Kala, sini dulu!" Panggil Sadana.
Sakala melirik sebentar, kemudian memasang wajah paling menyebalkan sedunia sebagai bentuk protes pada papanya. Setidaknya dia menyampaikan aspirasi lewat ekspresi muka, walaupun Sadana tidak akan pernah peduli. Dengan ogah-ogahan, Sakala duduk di depan papanya. Mau ngapain lagi coba?
"Langsung aja, papa malas bertele-tele. Kamu mau ngaku sendiri atau papa sebutin satu-satu dosa kamu selama papa pergi?" Sadana tersenyum tipis melihat wajah panik Sakala. Kemana tuh ekspresi protes tadi.
Sakala panik. Jelas. Ada banyak dosa yang ia lakukan selama papanya pergi. Anak laki-laki berusia enam belas tahun itu bergerak-gerak gelisah, bisa tamat riwayatnya kalau mengaku. Tapi lebih serem kalau papa mengabsen satu-satu semua dosanya.
"Oke gak mau ngaku, biar papa yang absen."
"Pertama, mecahin kaca depan rumah Bu Sur. Ada yang ingin anda sampaikan, saudara Sakala?" Papanya berucap tenang. Justru itu yang membuat Sakala makin ketar-ketir.
Sakala tampak berpikir-pikir, sebelum akhirnya menghela napas berat. "Aku gak sengaja, pa. Pas main lato-lato, karena belum pro lato-lato nya terbang terus kena kaca rumah Bu Sur."
Mendadak kepala Sadana makin pening, ingatkan dia agar mem-blacklist mainan setan yang bernama lato-lato itu. Ia segera memasukkan kaca rumah Bu Sur ke dalam list ganti rugi.
"Terus ini kenapa diskors tiga hari? Kamu ngapain?" Alis tebal Sadana menukik tajam.
"Hmm anu, pa." Sakala menggigit bibir bawahnya, berusaha mencari-cari jawaban yang pas agar tidak diamuk oleh sang papa. "Tapi papa jangan marah ya."
"Ketahuan ngerokok di belakang sekolah, pa. Tapi sumpah, pa. Gak lagi-lagi deh, kemarin cuma nyoba. Aku janji gak ngulangin lagi." Cicit Sakala pelan.
Sadana menghela napas, bingung harus beraksi bagaimana lagi. Ia tahu di usia segitu, Sakala memang lagi masa-masa mencari jati diri, segala hal akan dicoba. Hanya saja Sadana merasa sedih. Ia membesarkan Sakala dengan sebaik mungkin, namun pengaruh pergaulan membuat anak itu salah jalan.
"Pa..." Panggil Sakala setelah tidak ada respon dari Sadana. Seketika rasa bersalah langsung menyergap dirinya. Papanya terlihat kecewa.
"Kala minta maaf, pa."
Sadana mendengus kasar, tidak tega juga mendiamkan Sakala seperti ini. Biar bagaimanapun, Sakala adalah kelemahan terbesar bagi Sadana.
"Papa kecewa, Kala. Apa pernah papa mengekang Kala? Apa papa pernah membuat Kala sedih? Apakah papa pernah mengajarkan sesuatu yang salah pada Kala?"
Sakala terdiam seribu bahasa. Suara lirih papa menampar keras dirinya. Benar, selama ini Sadana sama sekali tidak pernah mengekang Sakala. Papanya membebaskan Sakala memilih apapun yang ia suka. Sadana selalu berusaha membuat dirinya senang. Papanya tidak salah sama sekali.
Airmata Sakala tak terbendung lagi. Secepat kilat ia berlutut dihadapan Sadana, menundukkan kepala dalam-dalam. "Kala yang salah, papa. Kala yang salah pilih teman. Maafin Kala."
Sadana tersenyum, menarik lembut Sakala agar kembali duduk disampingnya. Meski nakalnya sering membuat kepalanya berdenyut sakit, tapi melihat wajah bersimbah airmata itu, Sadana mau tidak mau tertawa. Bayi besarnya yang menggemaskan.
"Janji gak gitu lagi?"
Sakala mengangguk, sungguh dia beneran coba-coba kemarin. Awalnya dia nolak, cuma para kakak kelas itu terus memaksa. Sebagai anak kelas sepuluh yang masih polos nyerempet bego, Sakala jadi takut mau nolak. Terpaksalah dia ngisep tuh batang rokok. Baru juga tiga hembusan, Sakala udah nyerah, gak lagi-lagi deh dia nyoba. Dan sialnya saat berniat pergi, ehh malah kepergok guru BK. Sakala diskors tiga hari.
"Janji, pa. Sumpah gak enak deh ngerokok tuh. Heran kok orang-orang bisa tahan ya."
Sadana mengacak-acak rambut baru Sakala, tersenyum lebar hingga membuat lesung dalam di kedua pipinya terlihat. "Yodah, mau lanjut maraton AOT S4 gak?"
"Dihh aku udah selesai ya, papa tuh yang belum."
"Lah kok gak nungguin?!"
"Papa sih pake ke Arab segala. Mau aku spoiler gak, pa?" Sakala menaikturunkan alisnya jahil.
Sadana menjitak kepala Sakala, "awas ya kamu spoiler. Gak papa kasih izin beli action figure lagi."
"Eren jadi kuy-"
Belum selesai Sakala membuka suara, Sadana langsung membekap mulut anak itu agar tidak mengoceh lebih banyak. Pada akhirnya di sore yang mendung itu, Sakala tetap saja menemani papanya menonton Attack on Titan S4 sampai magrib.
◾◽◾
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Dawn is Warmer Than Day ✓
Fanfictionft. Seungcheol & Sunwoo as bapak anak Coba deh lu bayangin punya bapak spek komandan militer yang hobi nyepak kaki kalo lu salah sedikit aja dari aturannya. . Ini tentang seputar kehidupan bapak Sadana dan anaknya Sakala. Bapak anak yang punya kepri...