Ep 23. Di bawah rintik hujan

447 55 8
                                    

H-1 minggu pernikahan, semua orang sibuk. Mungkin yang tidak terlihat sibuk itu cuma Sakala. Iyalah emang dia harus ngapain selain celingukan melihat anggota keluarganya riweh ngurus acara pernikahan. Di sela-sela kesibukan tersebut, Sadana masih tetap pergi ke kantor. Sebenarnya bisa saja mengajukan cuti, tapi entahlah ia merasa bisa menangani dua hal ini bersamaan, mempersiapkan pernikahannya dan bekerja. Meski pulang-pulang tepar, ketiduran di sofa.

Seperti sekarang, kelar melakukan beberapa pertemuan dengan perwakilan kedutaan beberapa negara, Sadana bergegas mengemasi barang-barangnya. Ada janji fitting baju dengan Salsa satu jam lagi, ia harus buru-buru. Sadana harus mempersiapkan sesuatu sebelum bertemu dengan Salsa. Sesuatu yang manis sebagai pengganti metode melamarnya yang dikatain Sakala gak modal kemarin. Sadana berencana memberikan Salsa sebuah cincin platinum yang indah, ia yakin pasti cocok sekali untuk calon istrinya itu.

Sadana mengecek jam tangannya, sudah pukul tujuh malam. Tiba-tiba ia teringat Sakala yang bilang bakal pulang malam karena ada latihan tambahan. Sadana berniat menelpon Sakala, tetapi belum sempat memencet nomor telpon anaknya, tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal sudah lebih dulu tertampang di layar ponselnya.

Siapa? Pikir Sadana.

"Halo, ini siapa?"

"Sadana, ini aku Adhitama."

Sadana meremas pegangannya pada ponsel. Mau apalagi orang ini?! Bukankah waktu itu sudah Sadana peringatkan agar Adhitama tidak mengusik kehidupannya lagi?!

"Gue udah kasih peringatan sama lo. Gue pikir lo pasti masih ingat dengan jelas pembicaraan kita di restoran waktu itu."

"Dan, kasih gue kesempatan. Gue gak ada ambil dia dari lo. Gue cuma pengen ketemu sama dia. Gue ayahnya."

"Iya lo emang ayahnya. Tapi ayah mana yang tega menyuruh menggugurkan anaknya sendiri, bahkan ninggalin dia selama enam belas tahun?! Cuma elo ayah yang gak tau diri!" Sadana berusaha menahan amarahnya. Ia tahu tempat. Marah-marah di kantor hanya akan menimbulkan perhatian orang lain. "Pembicaraan ini sia-sia, Dhi. Sampai kapanpun gue gak bakal biarin lo ketemu sama dia."

Sadana mematikan sepihak panggilan telpon itu seraya memejamkan mata. Persetan dengan kelakuan egoisnya. Rasa marah yang meletup-letup membuatnya nyaris lepas kendali. Bukankah wajar jika dirinya membenci Adhitama? Laki-laki yang dulu pernah menjadi teman dekatnya itu tega mengkhianatinya dengan memaksa Renata putus saat menjadi pacarnya. Kemudian Adhitama juga tega menghancurkan Renata, perempuan yang sedari dulu Sadana jaga dengan baik. Dan yang lebih membuat Sadana marah adalah Adhitama yang pengecut. Sadana bukan tidak tahu bahwa selama ini Adhitama berada di Jepang, memulai hidup baru disana setelah meninggalkan Renata berserta anaknya. Adhitama bisa hidup nyaman, sementara Renata harus menghadapi kehidupan sulit. Wajar saja kan Sadana membenci Adhitama lebih dari apapun.

Tidak mau memperpanjang lamunannya, Sadana bergegas keluar dari ruangannya. Berjalan cepat menuju parkiran. Tangannya lincah bergerak-gerak diatas layar ponsel, menghubungi Sakala. Suara panggilan tersambung beberapa kali terdengar. Tidak diangkat. Sadana mengernyit, kemana anak itu? Di panggilan ketiga barulah Sakala mengangkat telponnya.

"Halo pa, ada apa?"

"Kamu kemana aja? Papa telpon kok gak diangkat?!" Hawa-hawa marah setelah bertelponan dengan Adhitama tadi masih terasa.

"Maaf pa, gak kedengaran. Soalnya mode silent. Ini lagi mau pulang kok, latihannya udah selesai."

"Yaudah langsung pulang! Jangan melipir kemana-mana!"

"Iya papaku sayang. Marah-marah mulu deh mentang-mentang mau nikah. Btw pa, tadi aku ketemu om-om."

Sadana jadi teringat Adhitama. Apakah Adhitama sudah menemukan Sakala? Seketika rasa takut mulai menyelinap ke dalam hatinya.

Our Dawn is Warmer Than Day ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang