Ep 14. Terasa begitu nyata

460 60 8
                                    

Tidak ada mimpi yang lebih menyeramkan selain melihat diri sendiri meregang nyawa. Sakala tahu itu cuma mimpi, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bahkan ketika ia terbangun pukul dua malam, mimpi itu tetap terbayang di kepalanya.

Darah yang bercipratan dimana-mana. Decitan ban dan bunyi klakson terdengar nyaring membuat ngilu. Sakala ingat dirinya terkapar tak berdaya setelah terlempar belasan meter dari lokasi kecelakaan. Sakala melihat dirinya yang bergumam lirih kesakitan. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan perlahan-lahan netra hitam miliknya mulai tertutup. Dia mati tanpa ada seorang pun disisinya. Dia mati dengan tragis, diselimuti udara dingin beserta air hujan. Dia menyaksikan dirinya mati.

Itu seram sekali. Sakala meringkuk di balik selimut, berusaha mengenyahkan bayangan mimpi itu. Dia pasti terlalu lelah setelah pertandingan tadi siang. Terlebih Sakala juga menghabiskan waktunya bersama dokter Salsa, tertawa lebar sepanjang hari. Mungkin karena itulah ia bermimpi buruk. Kata orang-orang dulu, kalau kebanyakan tertawa nanti menangis.

Tapi sekuat apapun Sakala berusaha untuk kembali tidur tetap saja bayangan dirinya di mimpi itu terus terputar. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Lantas bagaimana dengan papa? Sakala tidak mampu membayangkan dirinya pergi meninggalkan Sadana duluan. Masih banyak hal yang Sakala ingin balas pada papanya itu. Sakala ingin hidup lama bersama Sadana, menemani papa hingga akhir hayatnya. Sakala ingin membalas seluruh kebaikan Sadana sepanjang hidupnya.

Di balik selimutnya, Sakala terisak pelan. Meski tampangnya dari luar terlihat garang dan judes, Sakala itu cengeng luar biasa. Dia mudah menangis untuk hal-hal sensitif. Gemuruh dan kilatan petir di luar sana menyambar langit. Hingga pukul empat barulah Sakala terlelap dengan airmata masih menggenang di pelupuk mata.

◽◾◽

Sisa hujan tadi malam meninggalkan hawa dingin yang masih terasa hingga pagi datang. Seperti biasa, sebelum berangkat Sadana dan Sakala selalu sarapan bersama. Kali ini menunya bubur ayam depan gang yang dibeli Sadana tadi. Dia tidak mau mengacaukan sarapan mereka karena masakan anehnya. Membeli makanan adalah solusi terbaik.

"Muka kamu kenapa?" Tanya Sadana baru sadar wajah Sakala agak berbeda dari biasanya. Anak itu lebih pendiam sejak bangun tidur. Apa gara-gara masih ngambek yaa, pikir Sadana.

"Kala masih marah sama papa?" Tanya Sadana lagi. Perasaan dia sudah meminta maaf pada Sakala soal tidak bisa hadir menonton pertandingan bolanya kemarin.

Sakala menggeleng, tidak menjawab pertanyaan Sadana. Dengan tenang ia melanjutkan sarapannya. Tapi yang tidak tenang itu Sadana. Sakala pendiam seperti ini bukan pertanda baik.

"Gimana papa sama dokter Salsa?"

"Uhukk."

Sadana tersedak bubur, buru-buru ia meraih gelas berisi air putih disamping mangkuknya. "Gimana apanya?!"

"Papa pasti paham maksud Kala."

Sadana menghela napas, terdiam sejenak sambil memandangi bubur ayamnya yang tersisa satu suap lagi. Soal hubungan dengan Salsa yaa? Sadana juga tidak tahu disebut apa hubungan mereka. Keduanya dekat. Beberapa kali Sadana mengantar Salsa pulang atau Salsa mengirimkan mochi dan kue-kue lainnya untuk Sadana. Tapi hanya sebatas itu. Sadana tidak terlalu berharap lebih. Ia sadar dirinya masih belum bisa melupakan Renata.

"Gak ada hal spesial, Kala. Kita cuma berteman. Gak lebih dan gak kurang." Jawab Sadana akhirnya.

"Mau sampai kapan papa begini? Papa juga harus mikirin kebahagiaan papa!" Raut wajah Sakala terlihat serius. Jarang sekali Sakala bersikap seperti ini. Kedua alis tebalnya menukik tajam tanda sedang tidak bercanda.

Our Dawn is Warmer Than Day ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang