Ep 3. Mama itu seperti apa?

777 90 1
                                    

Sadana itu papa yang multifungsi. Kadang bisa jadi papa, jadi teman, jadi mama, jadi bapak-bapak alay bin lebay, bahkan bisa jadi komandan militer. Semua tergantung mood. Kalau lagi baik, semua keinginan Sakala pasti bakal diturutin. Mau belah bulan juga bakal Sadana kabulkan kalau lagi baik. Tapi gitu juga kalau lagi mode jahanam. Papanya itu gak akan segan-segan untuk nyepak kaki Sakala sampai pincang. Pernah tuh Sakala gak sekolah dua hari gara-gara habis disepak kaki sama Sadana. Bukan tanpa alasan Sadana berlaku seperti itu, membesarkan anak setengil dan sejahil Sakala memang harus memiliki tips dan trik tersendiri. Anak itu tidak mudah takluk. Mendisiplinkan Sakala itu termasuk pekerjaan paling sulit di dunia. Sadana gak bohong, sumpah deh.

Seperti saat ini, kepala Sadana nyaris meledak karena harus menahan emosi pagi-pagi. Sudah lima belas menit lebih ia berteriak membangunkan Sakala, tapi anak itu sama sekali tidak pergerakan. Jangankan bangun, bergerak seinci pun tidak. Dan saat memasuki kamar Sakala, darah Sadana mendadak mendidih melihat tampilan dalam ruangan itu tak ubahnya seperti terkena angin puting beliung. Sadana itu pencinta kebersihan, melihat kamar sekacau ini tentu saja membuat matanya sakit. Bukankah baru kemarin sore ia membereskan kamar sang anak dan pagi ini sudah berantakan lagi? Sadana mengepalkan kedua tangannya. Sakala benar-benar bisa membuatnya mati mendadak.

"Kala, papa tau kamu itu udah bangun. Buruan bangkit mandi sana!"

Masih bergeming. Tidak ada pergerakan.

"Sakala, papa hitung sampai tiga. Kalo masih gak mau bangun, action figure Itachi segede gaban ini papa buang!"

Kelopak mata Sakala mulai terbuka sedikit demi sedikit. Sebenarnya dia tuh udah bangun, cuma mager bangkit. Hawa dingin karena cuaca yang lagi hujan membuatnya betah bergelung dengan selimut.

"Yaudah sih, lima juta papa melayang kalo buang itu." Sahut anak itu.

Benar juga sih, action figure seharga lima juta itu tidak mungkin Sadana buang seenak jidat. Sadana berjalan mendekati kasur Sakala, menabok paha anak itu agar segera bangkit. Sakala meringis, pedas juga tabokan papanya. Lantas dengan ogah-ogahan Sakala keluar dari zona nyaman selimut tercintanya.

"Aku gak usah mandi ya, pa. Dingin banget ih, ntar aku masuk angin." Ucap Sakala. Ya gimana gak dingin, orang dia tidur cuma pakai baju ketekan, AC nyala full semalaman.

Sadana berkacak pinggang, menatap Sakala tajam. "Gak usah aneh-aneh, udah papa siapkan air hangat. Buruan mandi sana!"

"Pa, aku gak usah sekolah ya. Kayanya aku demam deh. Coba rasain nih, panas kan?" Lagi-lagi Sakala mencoba ngibulin papanya.

Kesabaran Sadana itu tipis banget, setipis uang diakhir bulan. Sebenarnya dari tadi Sadana sudah mencoba menekan emosinya agar tidak tumpah ruah. Masih untung Sakala tidak dia sepak sekarang juga.

"Sakala Ikhbar Malik... Papa gak lagi di mode baik hati loh!" Ancam Sadana. Kalau ada di komik-komik tuh, mata Sadana sudah berkilatan dengan aura gelap menyelimuti. Sakala cengengesan sebentar, buru-buru mengambil handuk yang tadi papanya lempar. Tiga langkah besarnya sampai di kamar mandi.

Sekarang tinggal Sadana yang menghela napas, menatap kamar berantakan Sakala. Perlahan pria itu memunguti barang-barang Sakala yang berceceran di lantai. Puluhan action figure dan segala macam perintilannya, komik-komik, buku, bahkan baju tercecer di setiap sudut. Saat lagi asyik menata belasan komik Sakala di rak, tiba-tiba matanya menangkap selembar kertas yang penuh coretan random. Sejenak Sadana terdiam, beberapa kalimat yang tertulis disana sukses membuatnya merasa sedih.

Mama itu kaya apa ya?
Apa cantik kaya Cia?
Galak enggak ya?
Pengen banget ketemu mama, tapi gak tau mama dimana
Kalo tanya papa pasti gak mau jawab
Aku jadi bingung deh mau mimpiin mama
Mama yang seperti apa muncul di mimpi?
Mama yang cantik? Mama yang galak? Atau mama yang gimana?
Tau deh!!! Mikir gini jadi laper...

Tulisan random itu berakhir dengan coretan tidak jelas. Sadana tahu, selama ini Sakala selalu menahan diri untuk tidak bertanya tentang keberadaan ibunya. Jujur Sadana belum siap. Ia tidak akan pernah siap mengungkapkan semuanya pada Sakala. Karena Sadana tahu, jika ia mengungkapkan kebenaran itu, dirinya akan kehilangan Sakala.

"PAPA, TOLONG AMBILIN KOLOR AKU DONG! PAPA MASIH DISITU, 'KAN?!"

Suara melengking Sakala membuyarkan lamunan Sadana. Buru-buru ia menjawab, "Iya, papa ambilin."

◽◾◽

"Kal, lo ikutan ngerjain tugas di rumah gue gak?" Tanya Ero saat bel pulang sekolah berbunyi. Sakala berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Lumayan kalau ngerjain tugas di rumah Ero pasti banyak makanan.

Sebelum keluar dari kelas, Sakala buru-buru mengambil ponselnya, mengetikkan beberapa kalimat di chat untuk papanya biar kalau pulang gak langsung disetrap.

"Ayo pulang!" Ajak Sakala pada Ero yang sudah menunggu di depan pintu.

Febrian Hero atau yang sering dipanggil Ero oleh orang-orang disekitarnya adalah sahabat paling dekat dengan Sakala. Mereka sudah berteman sejak TK. Tak jarang kalau sedang malas di rumah atau lagi bertengkar dengan papanya, Sakala pasti mengungsi ke rumah Ero. Lagipula rumah Ero tuh enak, ada banyak makanan. Tante Gigi suka masak banyak kalau Sakala datang. Sakala kesenangan dong, jarang-jarang dia bisa makan masakan rumah yang enak. Sadana itu buruk dalam memasak, biasanya mereka beli di luar atau makan masakan seadanya.

Seperti sekarang, yang disambut heboh oleh maminya Ero itu Sakala. Ero yang anak aslinya malah dicuekin.

"Kala kok lama gak main? Tante kangen tau." Ucap tante Gigi setelah memeluk Sakala erat-erat.

Sakala nyengir lebar. Dia selalu suka perlakuan tante Gigi padanya. "Hehe maap, tante. Kala lagi sibuk ikut klub bola, jadinya suka pulang telat deh. Gak sempet main kemana-mana."

Beberapa bulan terakhir Sakala memang disibukkan dengan kegiatannya di klub bola di luar sekolah. Sadana mendaftarnya ke salah satu klub bola terbaik di kota. Tentu saja setelah Sakala memohon-mohon dan berjanji akan terus menjaga nilainya agar tidak anjlok. Karena kesibukan barunya tersebut, Sakala hampir tidak ada waktu untuk bermain-main. Baru pulang ke rumah saja, ia langsung tepar. Terbaring diatas kasur dengan jersey basah kuyup yang lagi-lagi menimbulkan omelan dari papanya.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, setiap datang ke rumah Ero, Sakala harus makan dulu. Itu mutlak kata tante Gigi. Jadilah kelar makan, baru Sakala dan Ero bisa mengerjakan tugas. Sebenarnya 10% mengerjakan tugas, 90% nya main-main. Sakala terbaring menatap langit-langit rumah Ero yang berwarna biru, ada gambar-gambar awan juga disana. Kepalanya mengepul setelah mengerjakan dua soal matematika.

Ada banyak yang Sakala pikirkan. Setiap melihat interaksi Ero dan maminya selalu muncul perasaan iri dalam diri Sakala. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Mama itu seperti apa?

"Heh melamun aja lo! Kemasukan setan baru tau rasa." Seru Ero menyadarkan Sakala.

Sakala berbalik, kembali telungkup menghadap buku tulis dan buku paket matematikanya. Matanya berbinar setelah melihat buku tulis Ero sudah penuh dengan angka-angka.

"Ero baik, paling baik sealam semesta, nyontek dong. Mager mikir gue." Katanya dengan wajah paling memelas sedunia.

◾◽◾

Ero bilek : "Emang kita kenal?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ero bilek : "Emang kita kenal?"

To be continued...

Our Dawn is Warmer Than Day ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang