Ep 22. Renata POV : Kehadirannya bukan kesalahan

337 42 0
                                    

"Mbak hamil. Udah delapan minggu."

Ucapan dokter itu terdengar seperti petir yang menyambar di siang hari. Punggungku menegang. Sebisa mungkin ku sembunyikan rasa takut ini, berusaha tersenyum. Lantas tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan klinik itu. Aku berjalan linglung. Aku hamil? Fakta itu benar-benar meremukredamkan seluruh jiwa dan ragaku. Bagaimana? Aku anak sulung. Orang tuaku punya harapan lebih padaku. Bagaimana aku bisa memberitahu mereka bahwa aku hamil tanpa ikatan pernikahan?

Hari itu aku menangis sejadi-jadinya. Menyesali semua keputusan yang telah kuambil. Andai saat itu aku tetap memilih bersama Sadana, alih-alih melepaskan laki-laki itu. Aku menyesal menuruti Adhitama. Laki-laki brengsek tidak berhati itu tega merusak diriku. Aku menangis. Hanya bisa menangis.

"Gugurkan anak itu, Renata. Ayo sebelum semuanya terlambat."

Tanpa pikir panjang, langsung ku layangkan tanganku menampar Adhitama dengan keras. Saking kerasnya bahkan tanganku sendiri gemetar setelahnya. Aku mengepalkan tangan kuat.

"Aku gak bakal gugurkan anak ini. Aku akan merawat dia. Terserah kamu mau bertanggungjawab atau enggak, anak ini akan tetap lahir ke dunia. Mulai sekarang kita putus!"

Aku berlari menembus rintik hujan yang perlahan mulai turun. Aku marah. Aku frustasi. Tapi, kepada siapa aku marah? Kepada Adhitama? Laki-laki itu bahkan tidak mau disalahkan, meskipun dia yang sepenuhnya salah. Pada bayi yang ada di dalam perutku? Aku masih memiliki akal sehat untuk tidak menyalahkan makhluk tak berdosa yang hadir karena kesalahanku sendiri. Di bawah tetesan hujan, aku tergugu. Seketika mulai membenci banyak hal, termasuk bayi yang ada di dalam perutku. Haruskah aku menggugurkannya seperti yang dikatakan Adhitama? Tanpa adanya bayi ini, aku bisa hidup bebas. Aku tidak akan kehilangan mimpi, aku tidak akan menanggung malu.

"Mbak mau denger detak jantungnya?"

Aku mengangguk pelan. Sebenarnya ragu, berkali-kali aku mencoba untuk menggugurkan kandungan ini. Entah itu dengan cara meminum obat, merusak pola makan, dan lain sebagainya. Aku melakukan itu karena benci.

Deg. Deg. Deg.

Suara itu terdengar beraturan, seperti irama lagu yang indah. Aku terisak hebat. Tuhan, ada kehidupan lain di dalam diriku. Betapa jahatnya aku selama ini. Aku berusaha membunuhnya. Tapi, jantung bayi itu tetap berdetak dengan baik. Seolah tanpa ragu mempercayakan hidup matinya padaku.

"Dokter... Kehadirannya bukan kesalahan, 'kan?" Ucapku lirih.

Dokter perempuan itu mengangguk, dengan lembut ia mengusap kepalaku seperti anaknya sendiri. "Dia adalah anugerah. Dia pilih kamu jadi ibunya karena dia percaya sama kamu. Kehadirannya adalah kebahagiaan untuk kamu."

Hari itu aku benar-benar tersungkur oleh rasa bersalah. Anakku, maafkan mama. Mama sudah sakiti kamu. Mulai sekarang mama akan terima semuanya. Terima kasih sudah percaya sama mama. Kamu harus tetap sehat sampai lahir ke dunia. Apapun yang terjadi mama akan melindungi kamu. Mama sayang kamu.

Sejak saat itu aku mulai menata hidup lebih baik. Agar tidak diketahui oleh siapapun, aku memilih pindah dari kontrakan sebelumnya. Beruntung uang tabunganku cukup hingga selesai melahirkan nanti. Aku benar-benar memutuskan kontak dengan siapapun, kecuali dengan Vivian, sahabat sekaligus teman satu kontrakanku dulu. Hanya Vivian yang sering menemuiku, membantu sebisanya. Ketika usia kehamilanku beranjak lima bulan, aku kembali ditampar oleh fakta.

"Kehamilan anda sangat beresiko untuk dipertahankan. Kandungan anda tergolong lemah dan itu bisa berbahaya bagi anda dan juga bayi anda."

Aku meremas ujung baju, menatap perutku yang telah membesar. Aku menggeleng pada dokter. Apapun yang terjadi aku akan tetap mempertahankannya. Bahkan jika harus menukarnya dengan nyawaku, aku akan tetap melakukannya, aku akan tetap melahirkannya ke dunia ini.

Hari-hari selanjutnya hanya kuisi dengan kegiatan ringan. Vivian melarangku pergi kemana-mana. Ia bahkan sukarela menginap di kontrakan kecilku. Di usia kehamilan yang beranjak tujuh bulan, aku benar-benar kepayahan. Jangankan untuk berjalan, bergerak saja sulit. Hingga hari naas itu tiba.

Aku meremas kuat selimut yang menutupi tubuhku. Tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku berusaha bangkit sendiri, Vivian sedang ada urusan di kampus. Pelan-pelan aku mulai berjalan menuju kamar mandi sambil berpegangan pada tembok. Akhir-akhir ini kakiku sering bengkak, aku bahkan kesulitan berjalan karenanya. Tiba di kamar mandi, mendadak sakit di perutku menjadi-jadi. Gerakan refleksku yang tiba-tiba membuat keseimbanganku kacau. Aku terduduk di lantai kamar mandi. Darah mulai mengalir dari sela kakiku.

Tidak ada yang bisa kupikirkan dengan jernih saat itu. Beruntung aku membawa ponsel di saku baju yang kupakai. Dengan tangan gemetar menahan sakit, aku menelepon seseorang. Hanya Sadana yang ada di pikiranku. Panggilan pertama berakhir tanpa jawaban. Aku semakin meringis saat rasa sakit datang menyerang lebih menyakitkan dari sebelumnya. Panggilan kedua pun berakhir sama. Aku memutuskan untuk menelpon Vivian. Temanku itu langsung bergegas pulang saat mendengar suara lemahku menahan sakit.

Napasku mulai tersengal-sengal. Keringat dingin memenuhi setiap sudut wajahku. Meski gemetaran, aku mengelus pelan perutku dengan lembut.

"Sayangnya mama, tahan dulu ya. Temani mama berjuang sebentar."

Setelah itu tidak ada yang kuingat selain kegelapan.

◾◽◾

"Renata Gayatri Yuliana, waktu kematian 10.01."

Aku menatap kosong saat ragaku ditutupi kain putih oleh para dokter. Perjuanganku berakhir sampai disini. Aku berhasil membawa anakku ke dunia, sayangnya aku tidak bisa menemaninya.

Bayi itu kecil sekali. Aku tersenyum di balik kaca inkubator. Anakku tampan. Matanya memiliki binar yang indah.

"Dia anak gue, Jor. Mulai detik ini dia anak gue. Biar gue jadi papanya. Biar gue yang ngelindungin dia di dunia yang jahat ini."

Tatapanku beralih memandang Sadana yang tersenyum tipis tepat di depanku. Laki-laki itu mengusap permukaan kaca inkubator dengan mata berkaca-kaca. Tatapannya lembut seolah takut membuat bayi itu terbangun.

"Namanya Sakala. Dia anakku. Dia anakku..."

Sakala ya... Aku tak kuasa menahan tangis. Terima kasih Tuhan, kau telah mengirimkan malaikat baik pada putraku. Perlahan aku menyentuh tangan kecil Sakala. Dia menggenggam jemari telunjukku erat.

Mulai sekarang Sakala, hidupmu akan sulit. Tapi jangan sedih, karena mama selalu bersamamu. Mama selalu ada di dalam hatinya Sakala. Mama selalu hidup di setiap langkah Sakala. Mama selalu bersama Sakala. Jadilah putra mama yang kuat. Mama sayang Sakala.

Sebelum menghilang, kulemparkan pandangan menatap laki-laki yang juga sedang menggenggam jemari kiri Sakala.

Terima kasih Sadana... Ku titipkan Sakala padamu.

◽◾◽

To be continued...

Our Dawn is Warmer Than Day ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang