Ep 2. Like father, like son

885 101 9
                                    

Sekilas keduanya mirip. Siapapun yang melihat bakal tahu, Sakala itu anaknya Sadana dan begitu pula sebaliknya, orang-orang akan langsung paham kalau Sadana itu bapaknya Sakala. Mereka tinggal berdua doang di rumah minimalis itu. Rumah yang dibangun oleh Sadana dengan hasil jernih payahnya sendiri. Kalau menatap rumah itu, Sadana jadi ingat perjuangannya membesarkan Sakala sendirian. Tanpa pasangan bahkan keluarga. Sadana ingat saat itu ia baru lulus SMA, baru masuk dunia perkuliahan ketika Sakala hadir dalam hidupnya.

"Papa lihat gambalan Kala dapat bintang lima dali bu gulu." Sadana ingat banget momen dimana Sakala pertama kali menunjukkan hasil gambarnya. Sebuah gambaran sederhana dimana seorang laki-laki yang Sadana pahami adalah dirinya sedang menggandeng bocah kecil. Sebuah gambar yang membuat hatinya menghangat di tengah masalah yang terus berdatangan.

Sakala itu sumber kebahagiaan Sadana. Sakala ada saat dirinya membutuhkan kekuatan. Sakala hadir di tengah kehidupan rumitnya, membuat yang sulit menjadi mudah. Mungkin awalnya terasa susah, membesarkan anak memang bukan perkara mudah untuk orang semuda dirinya dulu. Namun, pelan tapi pasti Sadana berhasil. Ia lulus tepat waktu sebagai sarjana jurusan hubungan internasional. Sadana juga berhasil mendapatkan pekerjaan tetap di kementerian luar negeri. Meski sebenarnya pekerjaan itu teramat sulit, karena mengharuskan Sadana sering bepergian keluar negeri.

"Papa, ibu guru suruh tulis puisi tentang orang yang cintai. Cinta itu apa, papa?" Sakala yang berumur tujuh tahun saat itu bertanya polos, menunjukkan buku tulisnya yang kosong.

Sadana berpikir sejenak, mengalihkan perhatian sepenuhnya dari laptop ke bocah kecil di depannya. "Cinta itu perasaan. Cinta itu muncul dari hatinya Kala. Cinta itu bisa membuat Kala senang dan bahagia, tapi disatu sisi cinta juga bisa membuat Kala sedih."

"Eung? Kok bisa gitu papa?"

Aduhh Sadana makin bingung menjelaskan makna kata yang satu ini. Sadana itu bukanlah orang yang pintar merangkai kata dengan baik.

"Cinta itu kaya mangga muda. Kalo dirujak enak, tapi ada asem-asemnya. Nah gitu deh cinta." Sadana nyengir lebar, perumpamaan macam apa itu.

"Yaudah Kala mau bikin puisi tentang papa aja. Kala kan cinta papa. Papa kaya mangga muda yang enak tapi asem. Papa suka buat Kala senang, tapi papa juga suka buat Kala sedih."

Eh? Kok malah dia yang kena? Sadana menatap lamat-lamat putra semata wayangnya itu. Bibir anak itu melengkung kebawah, seolah memberitahu bahwa ia sedang bersedih.

"Papa suka pergi-pergi, Kala kan jadi  sendirian."

Sejak saat itu, Sadana sadar Sakala juga butuh satu sosok lagi dalam hidupnya. Seorang ibu.

◽◾◽

"PA!!!"

"PAPA!!!"

"HEH SADANA, DIMANA LU?!"

Emang akhlak Sakala memang sudah putus sejak dia resmi menjadi bocil kematian. Sadana udah gak heran lagi dengan anak semata wayangnya itu. Tinggal tunggu aja tanggal mainnya, bakal Sadana jorokin ke selokan depan.

"APAAN?!" Balas Sadana dari loteng. Dia lagi jemur baju btw.

"Tanding yok!" Teriak Sakala.

"Kita barusan kelar main epep cil." Sahut Sadana lagi. Ini jatohnya mereka berdua kaya lagi teriak-teriakan. Yang satu di bawah, yang satu lagi diatas.

"Dihh bukan itu. Ayo main kelereng! Aku udah beli kelereng banyak nih." Sakala menunjukkan satu plastik kelereng di tangan kanannya.

Sadana menghela napas, beginilah kalau dia ada di rumah. Sakala akan selalu mengajaknya bermain, entah itu game online, nyusun lego, bikin layang-layang, sampai yang ini main kelereng.

"Ogah, papa mau rebahan habis ini."

"Bilang aja gak bisa main kan?! Dihh papa cemen, sama bocil kaya aku aja kalah." Senyum licik terbit dari wajahnya. Sakala tahu benar cara mencungkil harga diri sang papa.

Wah tidak bisa dibiarkan ini, seorang Sadana kalah dengan bocah kematian seperti Sakala? Tidak mungkin sekali. Akan Sadana perlihatkan bagaimana seorang master kelereng beraksi.

"Ayo main! Yang kalah beliin cendol bang Ipul." Keduanya bersepakat.

Satu jam kemudian...

"Nih!" Sadana meletakkan dua kresek besar berisi cemilan dan es cendol bang Ipul. Jelas dia yang kalah main kelereng. Ternyata bertahun-tahun tidak main membuat skill yang dimiliki Sadana dulu tidak berguna. Bocil kematian seperti Sakala jelas lebih terlatih, apalagi mainnya sambil ngejekin papa. Sabar banget Sadana tuh ngeladenin.

"Perjanjiannya cuma beli es cendol, kamu curang nitip chiki segala." Protes Sadana.

"Suka-suka akulah. Aku kan anak papa, masa iya papa gak jajanin anak sendiri?" Balas Sakala sambil menikmati es cendol dengan nikmat. Tidak terbesit sedikitpun ia menawari papanya. Malah Sakala makin sengaja makan dengan ala-ala iklan.

"Hmm enak banget. Es cendol bang Ipul emang paling sealam semesta."

Ubun-ubun Sadana sudah mendidih melihat kelakuan anaknya. Sejenak ia lupa umur. Lupa kalau dirinya itu sudah tua tapi malah larut dalam permainan bocah. Tanpa minta apalagi bilang-bilang dulu, Sadana langsung merebut es cendol di tangan Sakala. Membuat si empunya nyaris tersedak cendol.

"PAPA BALIKIN CENDOL AKU!!!"

"SUKA-SUKA PAPA LAH, KAN BELINYA PAKAI UANG PAPA!"

Like father, like son. Rumah kecil mereka sejenak ramai oleh suara keributan.

◾◽◾

Suka mancing keributan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suka mancing keributan

Suka terpancing keributan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suka terpancing keributan

To be continued...

Our Dawn is Warmer Than Day ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang