"Na...?"
Jeno memanggil istrinya dengan lembut. Sudah masuk ke dalam mobil namun dilihatnya Jaemin bersedekap mengalihkan pandangan. "Kamu kenapa sih hemm...?" Sambungnya mengelus lembut pipinya.
"Kamu yang kenapa?" Balas Jaemin agak membentak. "Padahal berangkat berdua ke panti pengen lihat anak-anak baik, gak taunya aku malah ditinggal ngopi!" Gerutunya.
Baiklah, itu masalah sepeleh yang membuat Jeno langsung mengulum senyum. Untuk itu tidak masalah jika dia mulai mengemudikan kendaraannya dan melaju dengan kecepatan pelan.
"Sama siapa tadi? Simpenan kamu?" Sinis Jaemin lagi.
"Astaga, sensi nya masih belum hilang?"
"Jawab aja Jen."
Lagi-lagi Jeno menarik napas panjang. "Bukan. Dia mahasiswa aku yang dititipin Ayah. Nekat ngikutin aku sampai kesini buat dapet ACC."
"Harus yah semesrah itu kamu sama anak didik kamu?" Jaemin sejatinya khawatir karena tidak biasanya Jeno tidak galak dengan mahasiswanya. Apalagi tadi melihat suaminya sempat tersenyum berdua.
"Kamu kenapa si Na?" Nada Jeno masih terdengar tenang.
"Aku juga gak tahu Jeno aku kenapa...?" Bantah Jaemin tak kalah membingungkan. Merasa ada yang aneh dengan dirinya sehingga dia justru sampai meneteskan air mata. Sungguh dia bukan istri yang posesif sebelumnya. Ia justru berharap suaminya bisa begitu pada seluruh mahasiswanya. Lebih tenang dan santai seperti pengajar pada umumnya. Tapi mengapa hari ini rasanya sesak sekali.
"Pulang dari panti bukannya mood baik malah makin hancur. Kamu juga gak nemenin aku di dalam malah ditinggal pergi." Gerutunya lagi.
"Yaudah yaudah, sini peluk...?"
Jeno akhirnya mengalah, mengambil jalan pintas untuk menepikan mobilnya lalu memeluk istrinya erat. Jaemin itu orang yang mudah simpati. Barangkali kisah beberapa anak panti tadi sedikit menganggu jiwanya berujung moodnya yang berantahkan.
"Aku ngantuk...."
"Kamu tidur di kursi belakang yah. Biar lebih nyaman." Tawarnya.
"Gak mau, gini aja sambil kamu nyetir."
Dalam mode manjanya Jeno terpaksa menuruti Sang Istri. Menyetir dengan satu tangan sementara tangan yang satu ia gunakan memeluk Sang istri. Hingga dalam perjalanan tiga puluh menit ke depan, posisi nyaman seperti ini pun masih dia pertahankan.
"Memang efek suntik hormon itu sangat berpengaruh pada perubahan mood penggunanya Jen. Jadi sebagai suami kamu harus sabar saja menghadapi moodnya yang kadang naik turun." Perjelas Ten melalui telepon yang didengarkan langsung oleh Jeno. Seperti seorang Ibu, dia pun menjelaskan juga dengan telaten agar Jeno paham.
"Kamu pasti sedikit kerepotan yah?" Tanyanya perhatian.
"Gak tahu, aneh banget. Dikit-dikit sensi dikit-dikit marah. Lebih seneng kalau marahnya ngajak ke kamar sih?" Usil Jeno.
"Dasar kamu itu." Ten tertawa renyah. "Pokoknya kamu harus lebih sabar, ini baru hormon obat, belum hormon kehamilan yang ekstrim nanti."
"Parah sih kalau sampai jadi Kak Mark."
"Hei aku denger lho..." Suara lain yang menyahut dari Haechan. Sudah diduga, Ten pasti sengaja mengloud-speaker pembicaraan agar didengar juga oleh anak bungsunya. Tapi Jeno justru tak masalah. Sejatinya mereka memang seperti keluarga.
"Jaemin di mana Jen?" Tanya Haechan membuka percakapan.
"Lagi di bawah nih."
"Astaga, belum abis aja tuh kantong hormon?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Lines (NOMIN)
FanfictionJaemin dan Jeno adalah pasangan yang hanya menunggu saat membahagiakan itu tiba. cw: missgendering, bxb