19.

212 14 0
                                    

Jaemin tertawa keras. Tangannya memukul-mukul bantal di sebelahnya hingga sedikit keluar air matanya. "Kamu bercanda? Gak lucu tahu nggak Jen. Cepat tarik kembali kata-kata kamu, nanti diaminin malaikat."

Jeno menggeleng. Membiarkan istrinya berasumsi seorang diri. Sampai raut wajahnya menunjukkan keseriusan.

"Jen-No...?" Lirih Jaemin.

"Kamu bisa lihat berkas di lemari. Itu semua hasil lab dari pemeriksaan aku."

Secepat itu Jaemin berdiri membuka lemari. Mengobrak-abrik isinya sampai ditemukannya sebuah berkas yang menunjukkan pemeriksaan rumah sakit di Barcelona. Ada tulisan berbahasa inggris disana. Tapi Jaemin tidak bodoh, kuliah perbankan empat tahun sudah tentu dia tahu apa maksud tulisan tersebut.

"Na...?" Lima menit terdiam, Jeno menjadi khawatir. Istrinya masih memegang kertas itu dengan mimik yang sulit diduga. "Nana...?"

"Tega kamu yah?" Tiba-tiba saja Jaemin berkata lirih.

Well, inilah saatnya. Inilah penentuan dari semua kefrustasian yang Jeno pendam selama ini.

"Kenapa gak bilang dari dulu?" Suara Jaemin mencoba lebih lembut. Walau beberapa tetes air matanya sudah keluar, tapi terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya. "Kenapa selama ini bohong ke aku? Padahal kamu tahu seluruh perjuangan aku. Kamu tahu gimana pengennya aku punya bayi."

Jeno menelan ludah. Sembari mencoba memegang tangan Jaemin erat. "Maaf... maafin aku Na, aku mencoba cari waktu yang tepat buat cerita ini semua ke kamu."

"Dengan mengabaikan aku dulu yah, sampai buat aku merasa bersalah dulu. Baru kamu berani ngaku?"

"Nggak gitu Na...–

Jeno kehilangan kata-katanya. Atas segala tuduhan Jaemin yang ia rasa benar tapi juga salah. Jeno bukan mengabaikannya, tapi dia hanya merasa belum siap berhadapan dengan istrinya. Satu minggu sebagai pelariannya sampai disinilah ujungnya.

Melihat istrinya yang terisak sambil memegangi berkas yang berisikan kemandulannya. Sekali lagi Jaemin meyakinkan bacaannya lalu membuangnya begitu saja.

"Kamu selalu aja gampangin semuanya. Kamu gak peduli perasaan aku Jeno. Bisa-bisanya kamu sembunyiin hal sebesar ini...?"

"Aku peduli Na... Aku peduli...!" Tegas Jeno. Pembicaraan yang terlalu bertele-tele. Katakanlah yang mereka butuhkan adalah jalan keluar, bukan tuduhan-tuduhan yang tak berdasar.

"Terus kenapa baru bilang sekarang?" Rintih Jaemin. Hatinya luar biasa linu malam ini. Selama tiga tahun berumah tangga, tak pernah sekali pun Jeno menyakitinya sedemikian parah "Kenapa baru bilang sekarang Jeno?Kamu biarin aku hidup di khayalan aku sendiri, kamu biarin aku tenggelam dalam harapan-harapan semu. Kamu bahkan diam saja, Jen. Kamu gak coba buat bicara yang sebenarnya ke aku!"

"Na, aku gak bermaksud bohongin kamu. Aku hanya milih waktu yang tepat. Seperti sekarang saat kepala kita sama-sama dingin." Jeno menuntun Jaemin lembut. Menggiringnya untuk duduk sejenak agar tubuh Jaemin sedikit rileks. "Ayo kita omongin baik-baik Na. Kita cari jalan keluar sama-sama dari masalah berat ini."

"Omongin baik-baik?" Mata Jaemin tiba-tiba memincing, menatap suaminya tajam. "Kamu bahkan gak pernah bela aku saat orang-orang ngomongin aku Jen?"

"Nana...?"

"Kamu memang suka seenaknya sendiri!" Jaemin mencoba kembali berdiri. Menghempas kasar tangan Jeno yang mencoba meraihnya. "Saat orang-orang bertanya soal anak, kamu selalu biarin aku yang jadi temeng. Kamu biarin aku merasa bersalah sendirian. Kamu suruh aku periksa ke dokter, pakai ini pakai itu, tapi apa? Sampai akhirnya ketahuan justru kamu yang sakit kan?"

Two Lines (NOMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang