Apa yang dipikir semua orang perihal kehidupan pernikahan tidaklah semudah disaat pacaran. Katakanlah mereka berdua telah menjalani empat tahun lebih dulu. Jeno yang terkenal posesif, sementara Jaemin adalah serbuk sari yang keberadaannya menarik para jantan. Di masa pacaran, Jeno memang tidak begitu menunjukkan sisi aslinya. Memilih sabar dengan deretan nomor telepon yang memenuhi ponsel kekasihnya. Itu karena Jaemin bukan tipe orang yang mudah dikengkang atau berakhir melepaskan diri begitu saja.
Seperti di awal pernikahan mereka, Jeno yang sempat-sempatnya cemburu terhadap mantan Jaemin yang datang. Memberikan kado serta pelukan terakhir. Hal itu sempat membuat masalah dan menunda bulan madu mereka. Beruntung Jaemin berhasil membujuknya.
Lalu di tahun pertama pernikahan. Mereka pun sempat ditimpah masalah kesibukan. Jeno yang waktu itu sedang mengejar gelar doktor nya, sementara Jaemin melanjutkan kerja di bank konvensional. Hal itu membuat kapasitas pertemuan menjadi 8 jam per hari, itu pun mereka habiskan dengan istirahat saja. Pada akhirnya jika salah satu harus mengalah Jaemin lah yang melakukannya. Melepas pekerjaan yang sebenarnya impiannya sejak dulu demi mengurus rumah tangga.
Tentu saja hal itu berat. Jaemin yang terbiasa bekerja, bertemu teman-temannya kini harus mendekam di rumah saja. Karena rasa kesepian itu membuat keinginan mempunyai seorang anak semakin menggebu-gebu.
Jeno mungkin yang tidak memahami itu. Meremehkan rasa kesepian istrinya dan menggampangkan keinginannya pula. Butuh tiga tahun berjalan,, Jeno pun sadar atas kesepihan yang istrinya rasakan. Barangkali itu bermula dari Jaemin yang menggendong salah satu anak temannya. Jeno merasa ada sinar mata yang tidak biasa. Senyuman yang lebih cerah atau aura yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Intinya Jaemin memang bercita-cita menjadi Ibu. Bukan karena keberadaan suaminya belum cukup untuknya tapi itulah nalurinya sebagai seorang yang penyanyang.
Dan Jeno merasa sangat bersalah ketika dia menjadi alasan berakhirnya mimpi tersebut.
***
Suara hujan membangunkan Jeno di pagi hari. Perlahan-lahan matanya terbuka dengan mulut yang setengah menggerang menyadari dia di kamar hotel sendirian.
Kepalanya mendadak pusing, mengingat berapa botol yang ia habiskan semalam. Bagaimana dia menari gila dengan musik yang berdentum keras dengan para pelacur yang mengelilingnya. Sembari mengumpulkan memory, Jeno juga ingat perihal apa yang terjadi sebelum dia terbaring secara tak berdaya. Ia tersenyum miris sembari memijit-mijit kepalanya sendiri. Tidak berhenti merutuki nasibnya yang akan menjadi duda di usia muda.
Tidak lama setelah itu, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan seuilet mungil pada sosok yang sangat ia kenal.
"Hallo, sudah bangun?" Chenle menyapanya ceria. Menunjukkan isi dari kantong plastik yang dibawanya. Ada roti juga susu kotak yang sengaja dijejerkan di meja. "Mandi dulu lalu makan. Aku akan menunggu disini."
Jeno tidak mengubris, justru menatap Chenle aneh. Sebagai ganti ia tetap meminum air putih banyak-banyak. "Hallo, pak guru?" Sapanya lagi.
"Kenapa kamu disini?" Tanyanya sedikit was-was.
"Ingatannya masih belum balik?"
"Apa kita melalukannya?"
"Melakukan apa?"
"Tidak usah dipikirkan. Walaupun kita sudah melakukannya you can't get pregnant."
"Hah?"
Chenle tidak mengerti, apakah berbicara random adalah satu dari kebiasaan orang sehabis mabuk. Tapi ucapan Jeno yang selanjutnya benar-benar sukses membuatnya mematung, "aku mandul!"
Hanya beberapa detik saat dia menarik napas panjang dan memposisikan duduk mereka agar berhadapan. "Ya seandainya kita memang melakukannya, apakah Pak Guru tetap tidak merasa selingkuh dari istri tersayangmu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Lines (NOMIN)
FanfictionJaemin dan Jeno adalah pasangan yang hanya menunggu saat membahagiakan itu tiba. cw: missgendering, bxb