Kuucapkan selamat datang dan bergabung di perusahaan kita, Na." Seseorang itu menjabat tangan Jaemin dengan senyum cerah.
"Terima kasih Pak Hyunjin."
"Hussstt... panggil Hyunjin saja seperti biasa." Jawabnya tampak malu-malu.
"Jangan bercanda, kalau aku memanggilmu tanpa embel-embel apapun apa kata karyawan lain."
"Biar saja, biar mereka tahu ada mantan terindah bos nya bekerja di sini."
"Please Jin...?" Keduanya lantas tertawa bersamaan.
Hyunjin seorang Vice President dari sebuah perusahaan keuangan terkemuka kini telah mendapatkan asisten baru yang tak lain adalah Lee Jaemin, mantan nya sendiri. Hyunjin sendiri tidak tahu bagaimana nama itu terselip dari ratusan pelamar yang ada. Atas kekuatan orang dalam dan juga pengalaman kerja Jaemin sendiri yang cukup memadai, maka tak ragu bagi Hyunjin untuk segera menerimanya.
"Bagaimana Jeno? Apa dia menyetujuimu bekerja di sini?" Tanya Hyunjin cukup hati-hati. Dia bisa memprediksi ada masalah di rumah tangga mereka, tapi tidak ada salahnya jika menanyakan pada orangnya langsung.
"Aku tidak ingin membahasnya." Ucap Jaemin masih sopan.
"Kalian... - Ucapannya tiba-tiba merasa ragu. Terkait kejadian beberapa bulan lalu bagaimana dia menerobos masuk di rumahnya. "Bukan karena aku kan?"
"Astaga, tentu saja tidak." Saking kaget bercampur malunya, Jaemin sampai memukul Hyunjin dengan map. "Sudahlah pergi sana, aku mau mulai kerja."
"Na, aku masih atasanmu ngomong-ngomong."
"Tidak peduli, weekk!"
Jaemin yang mendorong Hyunjin keluar lantas menutup pintu paksa. Begitu dia duduk di kursi mejanya, dia pun mulai menarik napas panjang. Sesuatu masih terasa sesak disini. Bahwasahnya senyum yang dia tampilkan di hari pertamanya kerja adalah wujud dari pertahanan diri untuk menyingkirkan kelemahan hatinya.
Sedikit selangkah lebih maju. Setelah dua minggu pasca kepulangannya dari rumah sakit, sosok itu sudah tak terlihat lagi oleh mata. Dia hengkang dari rumah tanpa membawa apa-apa. Bajunya masih tertata rapi di lemari, pun buku-buku dan berkas pekerjaannya. Tampak tidak ada perpisahan kecuali malamnya Jaemin menerima pesan teks yang berbunyi: Aku akan segera menyewa pengacara dan mengirimkkan surat pisah kita.
Jaemin tidak membalas pesannya, sebagai ganti dia menangis semalaman sampai matanya membengkak. Jisung cukup menjadi saksi dari semua keadaannya. Seolah tak percaya akhir rumah tangganya akan seperti ini. Ya, Jaemin bahkan tidak memberi kabar orang tuanya di Jepang. Entah bagamana reaksi Ayahnya nanti juga Bundanya. Tidak peduli dengan Jeno yang tampaknya sudah memberi tahu keluarganya. Hal itu ia ketahui dari kedatangan Haechan yang sempat menghiburnya, tapi akhirnya pun keduanya menangis bersamaan.
Hampir sama dengan keadaan Jeno di rumah orang tuanya. Jika Jaemin sedikit berani melangkah untuk memulai bekerja, Jeno masih dalam posisi stagnan di sini. Sengaja mengambil cuti panjang untuk healing, alhasil yang dilakukan hanyalah berbaring sana-sini, melamun, sempat ia lampiaskan juga pada minuman beralkohol namun ketika melihat Bubu yang menangis saat itu, Jeno pun berjanji tidak akan menyentuh minuman itu lagi.
Agaknya Mark yang cukup menyesal dengan situasi ini. Sebagai seorang kakak, ia pun menyempatkan menemaninya sepulang kerja. Mengorbankan waktu bahwa dirinya pun seorang Ayah yang mempunyai anak balita. Mark sudah mengajak Jeno untuk berbicara dengan psikiater tapi hal itu ditolak mentah-mentah. Jeno bilang dia bisa mengendalikan diri. Secepatnya dia akan menemukan pengacara terbaik dan mengurus perpisahannya.
"Jen, mau main futsal?" Tawar Mark disambut gelengan oleh Jeno.
"Kalau billiar bagaimana?" Jeno menggeleng lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Lines (NOMIN)
FanfictionJaemin dan Jeno adalah pasangan yang hanya menunggu saat membahagiakan itu tiba. cw: missgendering, bxb