Naya kini berada di dalam kamar Maura. Sedangkan Maura masih berkutat di dalam toilet untuk membersihkan sisa mimisannya. Untuk pertama kalinya ia membawa orang lain masuk kedalam kamarnya yang berdinding biru langit itu. Perpaduan gordennya yang berwarna abu-abu membawa suasana sungguh menenangkan.
Naya mengamati setiap sisi kamar bernuansa feminim itu. Terdapat beberapa foto diatas nakas Maura yang menarik perhatiannya. Disana ada foto Maura kecil, Ibunya dan satu lagi pria paruhbaya yang dia duga adalah almarhum Ayah Maura. Di bingkai lain ada foto Maura, Aksa dan satu orang lagi yang Naya pikir itu adalah Dafa. Seperti yang sudah Maura ceritakan saat di rumah Aksa tadi. Satu lagi, ada foto Maura sendiri yang sedang memakai sweater tebal dengan senyum manis dan mata tertutup. Naya memujinya. Postur wajah Maura sangat sempurna dibalut hijabnya. Naya selalu berpikir bagaimana panasnya seorang muslimah yang memakai hijab kemana-mana. Apalagi ini adalah Jakarta yang udaranya bagaikan hembusan udara panas semata.
Ya, Naya beragama Kristen Protestan. Namun Naya tidaklah sama dengan generasi Z sekarang. Hidup hedon dan berteman dengan sesama sultan bukanlah prinsip seorang anak konglomerat satu ini. Pribadinya tidak hanya tumbuh dalam keluarga konglomerat, namun karakternya dididik dengan begitu luar biasa hingga jadilah Naya yang sekarang. Mampu menyesuaikan diri dengan siapapun yang ia jumpai.
Tak terasa, Maura sudah keluar dari toilet. Terlihat ia telah melepas hijabnya dengan rambut panjang yang tergerai. Cantik.
"Ra, kamu cantik banget" Kagum Naya
Maura tersenyum lalu terkekeh "Alhamdulillah, kamu juga"
Jujur Maura masih merasa sedikit pusing. Oleh karena itu dia beranjak menuju ranjang queen size nya itu untuk bersandar. Melihat Naya yang masih mengamati foto-fotonya, Maura berniat untuk mengajak Naya bercerita
"Serius amat Nay" Ucapnya pada Naya yang masih menatap deretan bingkai disana
"Eh haha Ra. Ini yang kamu bilang Dafa itu ya?"
Maura melihat foto yang dimaksud Naya lalu mengangguk "He em"
"Kalian deket banget ya"
"Semoga selalu begitu"
Naya menghentikan aktivitasnya lalu kembali penasaran kenapa sampai Maura mengajaknya kesini. Naya yakin Maura tidak baik-baik saja.
"Ra, kamu ada sakit ya?"
Maura yang baru saja merenung, tiba-tiba kaget dengan pertanyaan Naya
"Hah?" Ucap Maura bingung
"Ra? Kamu ga budek kan?"
Maura tersenyum, ia mendengar jelas pertanyaan Naya "Enggak kok Nay, aku emang sering kayak gitu. Udah biasa"
"Ga pernah periksa ke dokter Ra?"
"Pernah kok, tapi kata dokter cuma kecapean aja, pernah ada riwayat anemia"
"Terus kenapa kamu nggak mau orang lain tahu?"
"Apa gunanya menunjukkan luka kita ke orang lain?"
Naya mengangguk. Yang bisa ia tangkap, Maura tidak mudah mempercayai orang lain atau mungkin terlalu banyak kekhawatiran yang ia takutkan terjadi.
"Ngomong-ngomong, kamu orang pertama di Farmasi yang bisa tembus ke kamar aku loh Nay" ucap Maura berusaha basa-basi.
"Oh ya?"
Maura mengangguk. "Aku ga gampang berteman Nay. Susah banget buat percaya kelau seseorang ga bakal ngecewain aku".
"Pernah trauma?"
Maura menggeleng, "Anak tunggal selalu terbiasa untuk sendiri. Aku ga ada saudara yang bisa nenangin aku kalau lagi luka batin Nay. Aku ga seterbuka itu juga sama Bunda. Untuk itu, nyimpan semuanya sendiri aku rasa akan baik-baik saja. Ga ngerepotin dan ga ngebebanin siapapun"
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Farewell
Novela JuvenilDia Maura, si gadis pendiam yang sangat lihai menyembunyikan rasa sakit. Kuat. Kelemahannya hanya ada pada Bundanya. Dan Aksa, sahabat rasa Kakak sekaligus cintanya. Dia Maura, si gadis cantik yang sangat berani menentang ketidakadilan. Pintar. Kele...