(1a)

4.9K 527 55
                                    

Sebelum baca, tekan vote atau bintang di pojok kiri.

***

Kekacauan itu telah usai, lantai yang tadinya dipenuhi pecahan beling sudah aman untuk diinjak, tapi Nila masih berdiri di tempat yang sama bahkan setelah beberapa menit berlalu. Dadanya masih berdegup kencang, karena dia tau, ucapan Ervan yang ingin membunuhnya itu tidak main-main.

Pria itu bukan pria waras, yang bisa mengendalikan pikirannya. Dan Nila, tak mau bermain logika dengan orang gila.

"Apa? Apa kau mengasihaniku?" Ucapan tajam itu menyentak Nila.

"Ti ... Tidak. Aku ...." Nila terbata.

Tiba-tiba saja pria menyedihkan itu mendekat padanya, jarinya yang kokoh mencengkram leher Nila. Nila merasakan sesak dan sakit, apa sebentar lagi dia akan mati? Lalu bagaimana bayaran yang belum diterimanya secara utuh.

"Jangan menatapku dengan tatapan kasian. Aku bisa saja membunuhmu, dan takkan dikenakan pidana karena aku gila." Pria itu berbisik lirih, sementara Nila merasa dadanya akan meledak karena kehabisan oksigen. Dia tidak boleh mati, Ayah pria itu baru memberikan lima puluh juta, jauh dari kesepakatan mereka di awal.

Brak! Nila dilempar begitu saja, pantatnya mendarat dan punggungnya membentur meja di sudut kamar. Sakit, itu yang Nila rasakan. Akan tetapi, dia merasa lega saat meraup oksigen kembali, walaupun terbatuk-batuk.

"Seharusnya kau tak menerima pernikahan ini. Bersama denganku dalam satu ruangan, sama saja kau siap mati kapan pun." Ervan berbalik. Dia terlihat enggan menatap wajah kesakitan Nila.

Nila masih mengumpulkan nyawanya, bekas cekikan pria itu terasa sakit di lehernya. Nila berusaha bangkit, berpegangan ke sisi meja. Dia tak boleh takut, dia dibayar untuk ini. Untuk mendampingi pria gila yang suka mengamuk seperti singa.

"Ervan ...." Dia berucap lirih. Tangannya yang halus mendarat di bahu telanjang pria itu. Dan itu sukses membuat Ervan menoleh padanya.

Tatapannya sudah meredup. Tak ada lagi tatapan iblis yang bisa melenyapkannya menjadi abu.

Air mata Nila tak bisa ditahan. Seluruh tubuhnya sakit. Bahkan dia meyakini, ada lebam di punggung dan pinggulnya. Belum lagi bekas cekikan itu, dia masih merasa ada tangan Ervan di sana.

"Jangan sentuh!" ketus pria itu.

Nila menarik tangannya.

"Tak ada pilihan bagimu, selain pergi dari rumah ini, nyawa tak diberikan dua kali," bisik Ervan. Nila merinding.

"Aku ...."

"Sikumu berdarah! Obati sikumu, jangan masuk ke kamarku dalam keadaan terluka ...."

Ervan pergi, membanting pintu kamar, sepeninggalnya, Nila terduduk lemas. Bahkan baru satu minggu pernikahan, dia telah kehilangan tiga kilo berat badannya.

***

Janji Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang