8b.

1.5K 165 19
                                    

"Jangan hamil!"

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Nila. Apa yang Pak Arya katakan benar, pernikahan ini sebatas bisnis semata, tapi kenapa begitu sakit mendengarnya?

"Jangan pernah sesekali membuka tirainya!" Sebuah suara ketus menyadarkan Nila.

Nila kaget dengan suara itu. Tangannya yang sudah bergerak, terpaksa menggantung di udara.

"Maaf,  aku tak sengaja," sahutnya berbalik menemukan Ervan menatapnya dingin.

"Aku sudah mengatakan kepadamu, jangan pernah melanggar aturan yang sama-sama salah kita sepakati. Aku tak suka cahaya dari luar, berapa ratus kali aku harus mengatakannya?"

Ervan kemudian menutup kembali gorden itu dengan kasar.

Nila tidak mampu berkata-kata. Dia kemudian memutuskan untuk berjalan mundur menjauh dari Ervan.

Kamar ini sebenarnya cukup nyaman dengan warna cokelat tua, pintu dicat putih dan tirai berwarna cokelat gelap. Ada satu ranjang berukuran besar kemudian satu sofa mewah di tengahnya. Sebuah meja kerja lengkap dengan komputer, rak buku minimalis, serta televisi berukuran besar. Kemudian juga ada tanaman kecil yang terletak di dekat jendela. Tak ada yang salah sebenarnya dengan kamar tidur ini. Hanya saja kamar ini tidak pernah dibuka sehingga tidak ada udara dari luar. Kesannya seperti sengaja dibuat gelap dan suram.

"Aku tahu, kau telah menerima sebagian dari upahmu."

Nila mengerutkan keningnya dengan perkataan Ervan.

Bagaimana bisa pria itu mengetahui? apakah Pak Arya mengatakan kepada Ervan bahwa hari ini dia memberikan gajinya?

"Apakah ayahku sudah membayar lunas?" Ervan menatap datar Nila.

"Kenapa?" tanya Nila yang merasa tersinggung.

"Aku hanya ingin tahu, berapa lama lagi kau akan bertahan di rumah ini, karena semakin lama kau di sini, semakin membuatku susah untuk bergerak." Ervan kembali naik ke atas ranjang. Pria itu menghabiskan hampir semua waktunya di atas tempat tidur.

"Tentu saja aku akan menyelesaikan berdasarkan kontrak."

"Sampai aku sembuh, kan?" kata Ervan tajam.

"Ya ...."

Ervan kemudian menatap wajah Nila dengan tatapan dingin.

"Kau tau pasti, bahwa sekarang aku sudah sembuh."

"Tapi ayahmu menyuruhku untuk bertahan satu bulan lagi," sahut Nila berbohong.

"Benar-benar tidak masuk akal." Pria itu terlihat tak terima.

"Aku hanya menjalankan apa yang seharusnya aku lakukan."

"Kau akan melakukan apa pun untuk mendapatkan uang, termasuk memanfaatkan waktu yang tersisa ini untuk mengambil uang ayahku, kan?"

"Ervan!" bentak kecil Nila, Nila merasa sangat terluka dengan tuduhan pria itu, walaupun dia sangat membutuhkan uang, bukan berarti dia menghalalkan segala cara.

"Lagi pula, mungkin ayahku membutuhkan istri muda, aku rasa jika kau menawarkan diri untuk menjadi ibu tiriku, kau akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."

Plak!

Nila tidak bisa menahan rasa marah di dalam hatinya. Dia diinjak-injak seakan tidak memiliki harga diri. Sebuah tamparan rasanya tidak cukup bagi pria itu. Selama ini dia sudah menjaga Ervan dengan baik. Akan tetapi, dia hanya dinilai dengan jumlah uang. Dia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Ervan terhadapnya. Bagaimana mungkin pria itu bisa mengatakan dan memikirkan hal gila tentang dirinya.

"Aku rasa kau memang tengah sakit jiwa, kau belum sembuh," kata Nili dengan air matanya yang bercucuran.

Nila sama sekali tidak menyesali tamparannya pada pria itu, karena bagaimanapun, dia memiliki harga diri. Tuduhan menjadi ibu tiri bagi pria itu sungguh-sungguh sangat hina dan kejam. Pak Arya adalah orang yang baik dan dia bukanlah seseorang yang akan merebut istri anaknya menjadi istrinya juga.

"Apa yang kau lakukan? kau baru saja menamparku," kata Ervan, pria itu kaget dan tak terima.

"Aku akan menamparmu sekali lagi, jika kau tetap saja mengatakan hal yang tidak masuk akal."

"Aku tidak akan pernah membiarkan tangan kotormu itu memukul wajahku lagi, gadis kampung!"

Nila ingin membalas. Apa Ervan lupa asal usulnya? Dia hanya anak haram hasil selingkuhan yang tak diakui, tapi Nila menahan diri. Pria itu pasti akan merasa sangat sakit hati jika kalimat itu dikeluarkannya.

"Pantas saja kau dibenci oleh keluargamu, ternyata ini adalah sifatmu yang sebenarnya." Nila tersenyum hambar, sementara air mata siap meluncur kapan saja jika dia berkedip.

Mendengar itu, wajah Ervan memerah.

"Tahu apa kau tentang diriku, hah?"

Ervan berjalan mendekat kemudian menjambak rambut Nila. Nila meringis. Pria ini masih sakit.

"Kau belum sembuh," lirihnya di depan wajah Ervan.

***
Di karya karsa sudah tamat.

Tinggalkan jejak vote dan komen, agar aku semangat update.😌😌

Janji Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang