BAB 14
Suasana salah satu pusat perbelanjaan Ibukota cukup ramai di jam itu, tapi hal tersebut sama sekali tak menjadi kendala untuk Rena melangkah ke sana ke mari dengan masih menyeret Steel sesuka hati. Dari toko satu ke toko lain. Dari swalayan ini ke swalayan yang itu.
Sebagai suami yang baik, Steel hanya menurut meski kakinya mulai kesemutan. Memiliki ibu dan saudara ipar yang doyan berbelanja, membuat Steel cukup terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Akan tetapi ada beberapa hal yang berbeda. Rena lebih lama dan lebih teliti.
Jika Rosaline dan Aluminia langsung mengambil apa yang mereka butuhkan dan dilempar ke keranjang belanja tanpa berpikir panjang, maka Rena tidak begitu. Dia akan melihat harga terlebih dahulu, kemudian komposisi apabila membeli makanan, lalu apakah dia benar-benar membutuhkan barang tersebut atau tidak, kemudian tanggal kadaluarsa, dan masih banyak pertimbangan lain yang berhasil membikin Steel terheran-heran dan agak jengkel. Sampai dia berkata, “Kalau kamu memang mau, ambil saja. Beli. Nggak usah kelamaan mikir, Ren.”
Yang dibalas Rena dengan decakan kesal. Alih-alih mengikuti saran sang suami, ia justru meletakkan barang yang dipegangnya kembali ke rak dan melangkah ke sisi yang lain untuk melihat barang yang sama dengan brand yang berbeda.
Setelah mengamati beberapa saat sambil mengerutkan kening seolah sedang berpikir keras, barulah ia memasukkan benda tersebut ke keranjang belanja. Setelah melihat harga yang tertera, barulah Steel paham kenapa Rena mengambil yang ini. Ternyata yang sebelumnya lebih mahal 700 perak.
Tujuh ratus perak, ya ampun! Istri Steel memang luar biasa. Padahal brand yang tadi lebih dikenal, ya pantas bila harga jual lebih tinggi. Tetapi Steel sadar untuk tidak mendebatkan hal tersebut demi kedamaian dirinya sendiri, sebab ia tahu betul Rena akan punya argumen yang akan membuat Steel akhirnya menyerah. Bukan karena kalah, melainkan lelah sendiri.
Semakin lama usia pernikahan mereka, Steel kian mengenal sifat sang istri. Wanita itu cukup keras kepala dan bisa menjadi sangat-sangat cerewet bila merasa benar. Dia juga gampang emosi di beberapa hari menjelang haid dan membuat Steel tidak berani bertingkah aneh-aneh takut kena semprot. Atau bahkan mungkin kena lempar sesuatu. Lampu sorot Rena saat live jualan misal. Membayangkan saja sudah sangat mengerikan.
Usai berbelanja kebutuhan bulanan, Rena mengajaknya ke area ice skating dan merengek agar Steel mau mengajarinya berselancar, padahal Steel juga tidak terlalu pandai menggunakan sepatu luncur. Namun melihat wajah menggemaskan Rena saat memelas, ia jadi gemas sendiri dan tak tega menolak. Jadilah Steel mengiyakan saja.
Bagai dua orang bodoh, dua manusia itu berdiri saling berpegangan satu sama lain agar tidak jatuh. Steel tentu bisa lebih stabil, sedang Rena yang belum bisa menyeimbangkan diri nyaris terpeleset beberapa kali.
“Pelan-pelan, Ren. Pelan.” Steel berusaha mengarahkan sambil perlahan berusaha membawa Rena lebih jauh.
Istrinya tampak begitu antusias meski terlihat sedikit menggigil. Ia mengikuti setiap arahan Steel dan setelah merasa mulai bisa menyeimbangkan diri, secara perlahan mulai melepaskan pegangannya sambil tertawa-tawa kesenangan seperti bocah yang mendapatkan es krim kesukaan.
Rena cantik sekali saat tertawa seperti itu, dan Steel mendapati dirinya terpesona. Untuk ke sekian kali. Membuatnya hanya bisa terpaku dan ikut tersenyum kecil.
Seperti bayi yang baru belajar melangkah, Rena menggerakkan kaki sedikit demi sedikit awalnya, lalu tak lama kemudian dia bahkan sudah lebih jago dari sang suami dan meluncur sesuka hati meski beberapa kali nyaris membuat Steel gagal jantung saat wanita itu kehilangan keseimbangan dan nyaris menabrak peseluncur lain.
Ya begitulah Rena. Dia memang gampang belajar untuk beberapa hal yang membuatnya tertarik. Dia memiliki semangat besar dan tidak mudah menyerah. Salah satu sifatnya yang sangat Steel suka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Win-win Solution, Why Not?
RomanceMenginjak usia kepala tiga, pertanyaan kapan nikah makin santer Rena dapat. Membuatnya kian pusing setiap hari, serasa mendapat teror tiada henti. Padahal, apa salahnya hidup sendiri? Toh, dia tak pernah merepotkan siapa pun. Hanya saja, seringkali...