BAB 4

4.8K 1K 70
                                        

Ini tidak seperti acara lamaran. Sungguh. Meski suasananya sama tegang, tapi lebih ke arah horor timbang ketegangan dag dig dug yang katanya seperti ada kupu-kupu terbang dalam perut. Alih-alih kupu-kupu, Rena merasa justru banyak cacing yang menggeliat dalam perutnya dan membuat ia mulas serta mual.

Rena duduk di kursi panjang, diapit ibu serta kakakknya. Sedang di seberang meja ada Steel dan Pak Subhan Hanggara yang masing-masing menempati sofa tunggal berjejer dua.

Tak banyak kata yang terucap sejak kedatangan tamu istimewa. Pak Subhan terlihat canggung, barangkali beliau tahu sedikit banyak tentang putra bungsunya yang sempat menargetkan Cinta sebagai calon istri. Cinta yang kini Raki kembali peristri. Yang itu berarti, Steel mantan saingan kakak dari gadis yang malam ini ingin Steel lamar.

Ya ampun, kisah macam apa ini?

Calon suamiku mantan saingan kakakku?

Atau--

Calon suamiku mencintai kakak iparku?

Bah!

Rena harus berhenti menonton sinetron perselingkuhan semacam itu bila ingin otaknya tetap waras. Tetapi bagaimana bisa waras bila harus dihadapkan pada situasi seperti ini?

Rena masih ingat reaksi Raki kemarin saat ia menyebut adik Iron sebagai calon pelamar. Suasana kembali hening sebelum kemudian Raki terdengar menggeram rendah, disusul saluran telepon yang langsung dimatikan begitu saja.

Yanti yang tidak mengerti, menatap bingung ponselnya sebelum kemudian menoleh pada Rena dan berkata lugu, “Kayaknya jaringan lagi jelek, Ren. Mati ini. Coba kamu telepon ulang abangmu,” sambil menyodorkan ponsel pintarnya pada sang putri yang mematung dan mulai merasa sedikit meriang seketika.

Ia tahu sambungan telepon itu terputus karena Raki memang tidak ingin memperpanjang percakapan tentang Steel. Namun Rena yang tak tahu harus mengatakan apa pada ibunya, menerima ponsel yang disodorkan dan kembali mendial nomor sang kakak sambil membaca basmalah tiga kali dalam hati.

Tidak diangkat. Sudah pasti. Raki marah. Kalau sudah begini, Rena bisa apa?

Haruskah ia mengatakan pada Steel bahwa kesepakatan gila mereka dibatalkan saja? Ugh!

“Masih belum bisa tersambung ya, Ren?” tanya Yanti seraya menyentuh lengan si bungsu yang memucat.

Rena hanya mengangguk dua kali.

“Ya sudah, telepon nanti saja kalau begitu.”

Ah, tak ada kata nanti bagi Raki. Karena lima belas menit kemudian ia, lelaki itu sudah membunyikan klakson panjang di depan gerbang kediaman ibunya. Yanti yang kala itu sedang menyiram bunga, nyaris menjatuhkan wadah air ke tanah lantaran terkejut.

Menoleh, beliau batal misuh-misuh begitu mengenali mobil yang datang. Maka beliau meletakkan wadah airnya sembarangan di dekat pot janda bolong demi membukakan gerbang bagi Raki.

“Kamu datang sendirian?” sambut ibunya sambil celingukan mencari sosok entah menantu atau cucu-cucunya.

Bukan menjawab, si sulung justru balik bertanya, “Rena ada, Buk?”

“Ada di dalam. Lagi siaran langsung dia, promosi dagangannya. Baru saja mulai. Ada apa?”

Raki tidak peduli. Mau adiknya sedang siaran langsung atau kayang. Masalah ini bagi Raki lebih penting. Jadi lagi-lagi tanpa menjawab pertanyaan Yanti, lelaki itu langsung meloyor pergi begitu saja memasuki rumah yang dulu ia tinggali semasa kanak-kanak sampai sebelum menikah. Garis wajahnya tampak kaku. Tak ada jejak senyum sama sekali di sana.

Yanti yang masih belum mengerti, hanya mengekor di belakang tubuh tinggi besar sulungnya, tetapi suara salam dari depan membuat beliau terhenti dan kembali berbalik untuk memeriksa siapa lagi yang datang dan membiarkan Raki menemui Rena lebih dulu.

Win-win Solution, Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang