BAB 12
Andai pintu kembali ke masa lalu benar, Rena tidak akan berpikir dua kali untuk benar-benar mengulang kejadian dua bulan yang lalu. Ke detik-detik saat Steel mengajukan penawaran yang berhasil mengubah dunianya. Menjungkirbalikkan ketenangan yang semula Rena miliki.
Sungguh di luar dugaan. Wanita yang Steel cintai ternyata bukan Cinta, kakak ipar Rena sendiri. Namun fakta ini tak lantas membuat wanita itu lega, justru makin memuat pening kepala Rena mengingat ... perempuan yang kemungkinan besar masih memiliki hati Steel merupakan cinta pertamanya. Sahabatnya yang kini entah di mana.
Steel menikah untuk melanjutkan hidup dan berusaha melupakan kisah masa lalu yang tak sempurna dengan Karin. Tidak salah memang. Sebab tak aja jaminan wanita itu akan kembali. Andai berada di posisi Steel saat ini, sudah tentu Rena akan mengambil keputusan yang sama.
Dan karena itulah, Rena yang bodoh telah membuat keputusan. Ia akan melanjutkan pernikahan ini sesuai yang Steel inginkan. Berharap, meski tidak banyak, suatu saat nanti suaminya lambat laun akan bisa melupakan sahabat masa kecilnya dan mempercayakan hati untuk Rena, sebagaimana lelaki itu telah mempercayakan masa depan pada sang istri.
Dadu sudah dilempar, tak lagi bisa ditarik kembali. Nasi sudah menjadi bubur, memang sebaiknya dimakan selagi masih hangat.
Lagipula, kalaupun Rena memilih mundur, akan banyak orang yang akan dikecewakan terutama Yanti yang memang sangat ingin melihat si bungsu menikah.
Sudahlah. Kini Rena pasrahkan sepenuhnya pada takdir, ke mana pun semesta membawa kisah ini, sebab Rena sudah lelah mengendalikan kemudi hidupnya yang selalu berakhir tidak sesuai rencana. Percaya saja, Tuhan memiliki kejutan luar biasa indah untuknya.
Membuka mata, Rena mengerang kecil dan hendak bangkit untuk bangun. Tetapi sesuatu menahannya. Membelit perut wanita itu dengan kekuatan ringan.
Rena menelan ludah, seketika merinding dan salah tingkah. Wajahnya pun ikut memanas begitu menyadari, rasa hangat di belakang punggungnya berasal dari seseorang yang kini juga tertidur sambil memeluk Rena seperti guling.
Ini rasa hangat yang aneh, sekaligus menyenangkan. Meski Rena tak akan mengakui secara terang-terangan.
Keinginan untuk kembali meringkuk dan menutup mata untuk melanjutkan lelap meningkat, tapi Rena sadar waktu. Kini sudah siang, dan dirinya harus bangun sebelum Yanti yang datang mengetuk pintu dan membuat kehebohan lantaran putri dan menantunya mengurung diri di kamar sejak selesai sarapan.
Benar, mengurung diri. Hanya berdua. Suami istri. Rena tidak perlu menjelaskan apa yang mereka lakukan, kan? Yang pasti bukan bermain catur. Hanya dadu. Taruhan dengan takdir. Apabila Rena menang, kebahagiaan didapat. Kalau kalah, dirinya harus siap terluka.
“Aku sudah mengatakan yang sejujurnya sama kamu. Sekarang giliran kamu memutuskan.” Adalah kalimat yang Steel ucapkan tadi pagi.
Rena tidak langsung menjawab, membiarkan detak jam dinding berbunyi sampai tidak kali mengisi keheningan dalam kamar, sebelum kemudian mendongak makin tinggi dan menatap kedalaman telaga bening Steel yang tak beriak.
Lelaki itu jujur, batin Rena kala itu. Dan sejauh Rena mengenal suaminya, Steel memang bukan tipe lelaki pembohong yang gampang mengumbar rayuan.
Jadilah, dengan perasaan setengah bimbang akhirnya Rena mengangguk. “Baik, mari kita lanjutkan pernikahan ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Steel pun tersenyum. Tidak, Rena menelan ludah dengan susah payah. Itu bukan senyum, melainkan seringai. Seringai penuh makna yang tiba-tiba membuat Rena takut. Ia sudah hampir kabur, tapi terlambat. Steel lebih dulu menangkap dan menarik pinggangnya. Kemudian menjatuhkan ciuman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Win-win Solution, Why Not?
RomanceMenginjak usia kepala tiga, pertanyaan kapan nikah makin santer Rena dapat. Membuatnya kian pusing setiap hari, serasa mendapat teror tiada henti. Padahal, apa salahnya hidup sendiri? Toh, dia tak pernah merepotkan siapa pun. Hanya saja, seringkali...