BAB 16

4.1K 1K 160
                                        

Steel tahu, saat ini akan tiba pada akhirnya. Momen dia akan kembali bertemu dengan seseorang yang pernah atau bahkan mungkin masih ia cintai hingga kini. Hanya saja, Steel tidak pernah tahu bahwa ia akan sebimbang dan seterkejut ini. Padahal dirinya sudah mempersiapkan diri selama satu dekade. Pun menikah untuk menunjukkan bahwa ia bisa melanjutkan hidup dan bahagia setelah ditinggal wanita itu tanpa kabar.

Benar. Melanjutkan hidup. Seperti sekarang. Dalam sebuah ikatan. Yang entah mengapa, sedikit Steel sesali kini begitu melihat Karina lagi.

Sebagian suara dalam benaknya yang agak tidak waras berbisik, kenapa ia tak bisa menunggu lebih lama? Walau tak bisa dipungkiri, ada setitik rasa marah di hati begitu mengetahui ternyata Karina sudah sempat menikah. Karena lebih dulu menikah. Bersama orang lain dan dianugerahi sosok manis balita yang kini duduk di meja sebelah.

Ya ampun, melihat Karina lagi benar-benar sukses mengacak-acak isi otaknya dan membuat Steel tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Semua terasa serba salah dan keliru. Bahkan Steel sadar sudah bersikap tidak adil pada Rena. Rena. Istrinya.

Mendengar bunyi derit akibat gesekan kaki kursi dan lantai, Steel menoleh dan mendapati Rena bangkit berdiri. Dia pamit pergi ke toilet belakang lantas melimbai begitu saja tanpa menunggu jawaban. Sialnya, saat itu Steel memang sedang tidak ingin menyahutinya. Terlalu bimbang membuat lelaki itu kebingungan.

Menarik napas, Steel menyeruput minumannya yang sudah tersisa separuh saat Karina memajukan tubuh dan bertanya dengan nada pelan. “Tapi kalian saling mencintai kan, Steel? Rena kelihatan baik.”

Steel mengembalikan gelas minumnya ke tengah meja dan mendongak, membalas tatapan mata sang lawan bicara yang memandangnya lurus dengan ekspresi ingin tahu. Andai bisa, Steel ingin berbohong. Hanya saja, Karina terlalu mengenalnya. Bukan tanpa alasan ia bertanya demikian. “Aku pernah sekali jatuh cinta, Kar. Saat ini aku melanjutkan hidup.”

Pupil mata Karina membesar. Ia memundurkan punggungnya perlahan hingga menabrak sandaran kursi. “Steel--”

“Rena juga tahu kenyataan ini. Kami menikah bukan atas dasar cinta, melainkan kesepakatan bersama.”

“Kalian bahagia?”

Bahagia? Bagaimana cara Steel mengatakannya? Rena wanita yang baik. Dia perhatian dan manis. Selalu ada saat Steel butuh dan tidak banyak menuntut. Menyenangkan saat diajak bicara dan memiliki pemikiran yang dewasa meski di waktu-waktu tertentu istri Steel bisa sangat manja.

Dan sejauh ini, ya. Steel cukup bahagia. Bahkan tadi saat bermain seluncur. Sebelum semesta memberi kejutan dengan menghadirkan kembali wanita di masa lalunya. Yang berhasil membuat Steel bertanya-tanya saat ini. Kebahagiaan apa yang kemarin-kemarin ia lalui?

Menunduk, Steel menatap cincin putih yang melingkari jari manis tangan kirinya. Cincin yang biasa ia tatap dengan perasaan bangga entah kenapa kini justru terasa bagai belenggu.

Steel sudah menikah. Karina telah lepas dari ikatan. Ironi sekali.

“Sejauh ini tidak ada yang salah dari Rena.”

“Jangan menyakitinya, Steel.”

Steel tersenyum satire, menatap Karina setengah menunduk. “Aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun.”

“Dengan tidak mencintai dia, sama saja kamu telah menyakitinya.”

“Tidak akan terasa sakit kalau tidak cinta, Kar.”

“Maksud kamu?”

“Kami menikah karena kebutuhan. Dia juga tidak memiliki perasaan apa pun terhadapku.”

“Kamu yakin?” tanya Karina setengah mendengus. Steel mengangkat satu alisnya dan mengangkat bahu tak acuh. “Bagaimana kalau sebaliknya? Ternyata dia sudah jatuh cinta sama kamu.”

Win-win Solution, Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang