“Kalau begini, apa arti kamu meminta waktu, Steel?”
Bagai tersambar petir di siang bolong, Steel terperanjat. Ponsel di tangannya digenggam kian erat. Perlahan, dengan wajah pucat pasi ia menoleh ke belakang. Ke arah sumber suara yang dirinya kenal di luar kepala. Dan benar saja, Rena, istrinya berdiri di sana. Tepat dua langkah darinya. Menatap dengan sorot tajam yang kali itu berhasil menciutkan nyali Steel. Ekspresi wajah wanita yang Steel pilih sebagai itu sama sekali tak tertebak. Yang pasti, dia tampak begitu dingin dan jauh meski secara harfiah posisinya masih dapat dijangkau dengan mudah.
“Ren!” serunya. Ada sebersit nada panik di sana. “Kamu ... sejak kapan kamu di sana?” Bibir yang terasa mengering, Steel jilat setengah gugup. Dalam hati berharap, sangat, Rena tidak mendengar apa pun. Terutama nama Karina. Tetapi raut wajah Rena mengatakan sebaliknya.
“Mungkin semenjak kata halo pertama,” jawab Rena datar. Satu tangannya terkulai bukan tanpa daya di sisi tubuh, sedang tangan yang lain menahan lilitan selimut agar tetap menutupi tubuhnya yang telanjang. Tubuh yang Steel telanjangi lebih tepatnya. Beberapa saat sebelum ini. Sebelum awan badai datang.
Dan apa katanya tadi? Dari kata halo pertama? Steel kembali menjilati bibirnya. “Aku bisa memberi penjelasan.”
Rena mengangkat satu alisnya. Ketenangan yang menguar dari bahasa tubuh sang istri justru membuat Steel makin tak nyaman. “Apa?”
“Karina menelepon bukan tanpa alasan,” ujar Steel nyaris terlalu cepat. Ingin segera menyelesaikan masalah ini dan kembali ke ranjang untuk tidur. Ia lelah sekali. Pertemuan dengan Karina sungguh berhasil menguras energi. Lebih dari itu, pergumulan dengan Rena beberapa saat lalu berhasil menguras seluruh tenaganya yang tersisa. Dalam artian yang menyenangkan. Hanya untuk berbalik kini. Steel tidak menyukai itu.
“Dan alasannya?”
“Dia bilang tadi mantan sauminya datang. Perceraian mereka agak rumit, Ren. Dan mereka sedang memperebutkan hak asuh anak.”
“Apa urusannya dengan kamu?”
“Urusannya denganku?” Steel berkedip, agak tidak terima dengan pertanyaan tersebut. Karena entah mengapa, Steel memang merasa masalah Karina berhubungan dengannya. Sangat. “Karina temanku kalau kamu lupa.”
“Dan kita memiliki perjanjian terkait Karina kalau kamu lupa!” Pada tiga kata terakhir, Rena memberi penekanan yang agak dalam di setiap silabel. Penuh tuduhan.
Steel menarik napas panjang dan menyugar rambut dengan satu tangan yang tidak memegang ponsel. “Dia butuh bantuan. Ini jelas dua hal yang berbeda!”
“Dari sekian banyak teman yang dia miliki? Cuma kamu yang bisa bantu?” Rena tertawa mendengus. “Lucu sekali!”
“Memang hanya aku teman yang dia miliki. Setidaknya sekarang.”
Ada nyala dalam tatapan mata Rena yang sempat membuat Steel gamang. Hanya saja, di saat-saat seperti ini Steel tahu ia tidak memiliki pilihan. Karina berada dalam ketidakberdayaan melawan mantan suaminya yang cukup berkuasa. Dan Steel jelas bisa membantu wanita itu dengan kekuasaan kakak dan ayahnya. Karena itu Karina meminta bantuan Steel, tapi Rena tidak mau mengerti. Dia menolak mengerti!
“Jadi kamu sudah membuat keputusan?”
“Keputusan?” ulang Steel, belum bisa mengerti ke arah mana pembicaraan mereka berlangsung. Walau secara garis besar Steel tahu inti dari permasalahan ini. “Keputusan apa?”
“Untuk menolak atau memberinya bantuan.”
“Ren, dia dalam posisi sulit. Sebagai teman jelas aku harus bantu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Win-win Solution, Why Not?
Lãng mạnMenginjak usia kepala tiga, pertanyaan kapan nikah makin santer Rena dapat. Membuatnya kian pusing setiap hari, serasa mendapat teror tiada henti. Padahal, apa salahnya hidup sendiri? Toh, dia tak pernah merepotkan siapa pun. Hanya saja, seringkali...