BAB 11
Benar, kalaupun hati Steel belum kembali padanya, pemilik rasa itu bukan Cinta. Sama sekali bukan.
Mengingat kembali, hanya membuat Steel merasa miris dan menyedihkan. Juga bodoh. Bagaimana bisa, setelah bertahun-tahun ada lagi yang mengungkit tentang luka masa lalu meski secara tidak langsung.
Rena menuding Steel masih mencintai istri Raki. Kakak ipar wanita itu sendiri, hanya karena Steel berusaha menjadikan Cinta sebagai masa depan.
Oh ayolah, Steel yakin Rena bukan tipe wanita yang berpikir bahwa dalam pernikahan hanya membutuhkan cinta untuk hidup kan? Karena kalau benar demikian, maka dia telah salah memilih Steel sebagai suami. Sebab sejak hampir sepuluh tahun terakhir, Steel sama sekali tidak pernah merasakan debaran yang sama lagi.
Benar, debaran berbeda itu mungkin sudah dibawa pergi bersama wanita yang dulu ingin ia perjuangkan tapi malah lebih memilih berkelana di dunia luar. Meninggalkan Steel dengan hati yang patah.
Kendati demikian, Steel tahu hidup harus terus berlanjut. Meski berat tetap harus dijalani. Hidup bukan hanya tentang satu rasa, melainkan lebih banyak makna.
Steel tetap menjadi Steel. Yang dikenal ceria dan sembrono. Oh, sangat sembrono, sesembrono pernikahan yang kini ia jalani. Tak ingin siapa pun tahu, betapa dadanya kosong saat ini.
Dan bentuk lain dari melanjutkan hidup adalah ... mencari wanita lain dan memulai hidup baru. Menikah. Memiliki keturunan. Berharap lambat laun dirinya akan melupakan luka lama dan benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang dicarinya. Semoga.
Dan kini, istri yang dipilihnya secara sembrono pula, bertanya; siapa pemilik hati Steel sesungguhnya?
Menolak menjawab sama saja bentuk kejahatan. Steel sudah berjanji untuk tidak melukai Rena secara langsung di depan ayahnya, pun kakak wanita ini. Dan laki-laki sejati tidak pernah ingkar janji. Terlebih, Steel sudah terlalu sering melihat wanita-wanita di sekitarnya terluka. Dengan sangat parah. Ia tak mau hal tersebut terulang pada calon ibu dari anak-anaknya. Istrinya sendiri. Meski sejatinya memang bukan Rena yang benar-benar ingin dirinya pilih. Pernikahan ini, hanya solusi bagi masalah mereka. Kendati demikian, tetap saja Rena berhak mendapatkan kasih sayang dan rasa hormatnya.
Lalu kini, Steel dihadapkan pada dua pilihan sulit, berkata jujur atau kabur dari situasi ini. Karena sungguh, Steel ingin menyimpan rahasia tentang masa lalunya sendiri. Namun, membiarkan Rena bertanya-tanya juga bukan solusi.
Menarik napas panjang, Steel tatap lurus mata Rena. Mata cokelat yang terlalu umum yang bisa ditemukannya hampir pada seluruh wajah orang-orang Asia kebanyakan. Sudah Steel putuskan, dia memang harus jujur. Setidaknya hanya itu yang dirinya miliki untuk Rena. Kesungguhan dan kejujuran sebagai pondasi pernikahan mereka yang ... masih begitu lemah.
“Kamu benar ingin tahu?”
Steel melihat Rena menjilat bibirnya gugup. Deru napasnya yang pelan juga tampak tidak teratur. Berkedip cepat, istrinya mengangguk sok angkuh.
“Kalau begitu, kita bicara di kamar?”
Sekali lagi, Rena mengangguk.
Steel langsung berbalik begitu saja dan kembali ke kamar Rena. Kamar mereka sekarang sejak Steel sepakat tinggal di rumah tersebut lantaran Rena tidak tega meninggalkan ibunya seorang diri.
Steel duduk di tepi ranjang dan menepuk tempat di sebelahnya sebagai isyarat agar Rena mendekat. Istrinya menurut, tapi bukan di sebelahnya. Rena mengambil tempat di sisi ranjang terjauh dari lelaki itu. Steel bisa maklum.
“Jadi?” Wanita itu memulai tanpa menatapnya, lebih memilih memelototi dinding kamar yang tak berdosa.
“Namanya Karina,” mulai Steel sambil menautkan tangan di depan perutnya, mengikuti jejak Rena menatap dinding kamar yang dicat putih tanpa kombinasi warna lain. “Kami berteman sejak kecil karena tinggal di komplek yang sama. Ibunya Sunda dan ayahnya berasal dari Kanada. Mereka pindahan baru di komplek kami waktu itu. Lalu dia masuk ke sekolah yang sama juga denganku. Dari situ kami kenal dan menjadi akrab. Hampir ke mana pun selalu bersama-sama. Dari SD sampai kuliah S1.

KAMU SEDANG MEMBACA
Win-win Solution, Why Not?
RomantizmMenginjak usia kepala tiga, pertanyaan kapan nikah makin santer Rena dapat. Membuatnya kian pusing setiap hari, serasa mendapat teror tiada henti. Padahal, apa salahnya hidup sendiri? Toh, dia tak pernah merepotkan siapa pun. Hanya saja, seringkali...