“Kamu belum tidur?”
Steel nyaris mengumpat mendengar pertanyaan yang diajukan dengan begitu ringan oleh wanita yang kini berstatus sebagai istri tapi belum bersedia disentuh sebagaimana mestinya. Lelucon lain dalam pernikahan ini yang sungguh ... sama sekali tidak lucu.
Jadilah lelaki itu hanya berbalik badan dan berbaring miring menghadap jendela di sisi lain, memunggungi Rena yang menatapnya dengan kening berkerut heran.
Namun sekali tak mendapatkan jawaban, Rena tidak bertanya lagi dan memilih melanjutkan langkahnya yang setengah ragu ke arah ranjang. Ugh, memikirkan harus satu ranjang dengan orang lain, terlebih laki-laki, Rena sudah merasa merinding. Tetapi mau tidak mau, memang ini harus ia hadapi. Karena memang begitulah siklus kehidupan. Bahkan ia juga harus sanggup melewati yang lebih dari pada ini.
Menarik napas panjang, Rena secara perlahan mulai menurunkan tubuhnya, berusaha untuk rileks walau jantung seperti dipacu dengan kecepatan yang tak bisa dirinya imbangi.
Tepat saat Rena menarik pelan selimut di bawah kakinya sebagai perlindungan, teman seranjang yang kini menyandang status sebagai suaminya bersuara, “Aku menikah untuk memulai rumah tangga sungguhan, Ren, bukan main rumah-rumahan.”
Tangan kanan Rena kembali menjatuhkan kain selimut yang berhasil diraih demi menoleh ke samping kanan, pada punggung Steel yang lebar dan mengarah padanya seolah menantang untuk dibantah. Dan ya, Rena sangat ingin membantah. Sayang, dirinya memiliki pemikiran yang sama, hanya saja belum tahu ke mana obrolan ini mengarah.
Steel terlalu sulit ditebak.
“Apa maksud kamu?”
“Kita sudah sama-sama dewasa. Telah sampai usia tiga puluh tahun. Bukan remaja lagi, tapi kenapa aku seperti menikah paksa dengan gadis sembilan belas tahun.”
Mulut Rena mendadak kering. Ia menurunkan kembali tangannya dan meletakkan ke atas pangkuan dalam keadaan tergenggam. Entah mengapa, ia tersinggung disamakan dengan gadis 19 tahun yang dinikahi paksa. Rena sudah sangat jauh melewati usia itu. Usia saat ia masih begitu labil dan belum mengenal diri sendiri. Masa di mana ia merasa paling benar. Yang kalau diingat sekarang terasa begitu menggelikan.
“Bisa bicara lebih jelas?” tanya Rena setengah geram. Perasaannya sedang berantakan hari ini. Ia mulai berusaha berdamai dengan keadaan dan pilihannya sendiri, tapi kenapa Steel justru memancing emosinya sekarang?
Demi apa pun, ini baru hari pertama dari pernikahan mereka yang kemungkinan akan berlangsung seumur hidup! Haruskah dimulai dengan perdebatan konyol semacam ini? Perdebatan yang hanya membuat Rena semakin menyesali keputusan gila yang diambil spontan dua bulan lalu.
“Sikap kamu dingin hari ini. Kita tidak seperti dua orang yang menikah, melainkan dua musuh yang terpaksa melakukan gencatan senjata. Padahal pernikahan ini keputusan bersama. Kamu butuh suami, dan aku butuh istri.”
“Bukankah kita sudah sama-sama mendapatkannya hari ini? Aku mendapat suami, begitupun sebaliknya.”
“Hanya dalam status.”
Angin berdesau pelan melewati celah jendela yang tak tertutup sempurna, menerbangkan kelambu putih tipis sebelum kemudian menyapa kulit kaki Rena telanjang, tetapi gagal membuatnya menggigil kedinginan. Ia justru merasa mulai panas dan ingin mencekik seseorang.
“Bukankah memang itu yang kita mau? Terbebas dari pertanyaan orang-orang yang mengganggu?”
Ranjang di sisi Steel melesak saat lelaki itu mengubah posisi menjadi telentang, tapi sama sekali tak melirik Rena, melainkan menfokuskan pandangan pada lampu di langit-langit kamar tidur. Raut wajah lelaki itu tampak datar, membuat Rena kesulitan menebak isi kepalanya. Bukan berarti Rena bisa membaca isi kepala seseorang, tapi seringkali ekspresi memiliki beberapa arti yang bisa dengan mudah ditebak. Sayang Steel tidak begitu. Dia sering kali menunjukkan wajah ramah yang ceria dalam keadaan apa pun, hingga orang lain akan mengira dirinya sama sekali tak memiliki masalah hidup. Padahal, apa yang orang-orang tahu di balik permukaan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Win-win Solution, Why Not?
RomantizmMenginjak usia kepala tiga, pertanyaan kapan nikah makin santer Rena dapat. Membuatnya kian pusing setiap hari, serasa mendapat teror tiada henti. Padahal, apa salahnya hidup sendiri? Toh, dia tak pernah merepotkan siapa pun. Hanya saja, seringkali...