BAB 7

4.5K 1K 68
                                    

BAB 7

Hari itu cerah. Matahari bersinar terang, memancarkan terik yang hangat menyentuh kulit sebelum kemudian menyengat saat sang Raja siang mencapai puncak kulminasi. Kendati demikian, tak sama sekali mengganggu acara yang sedang berlangsung di kediaman keluarga Raki.

Semua berjalan lancar, termasuk ijab kabul yang Steel ucapkan dengan lantang di depan penghulu dan para tamu undangan yang datang. Tak ada gugup sama sekali. Berbanding terbalik dengan Rena yang sejak minggu lalu merasa galau dan gelisah. Dan kini puncaknya. Ia merasa melayang saat dituntun ke kursi pelaminan alih-alih berjalan. Air matanya menetes jatuh saat beberapa saksi mengucap kata sah serempak.

Bukan, itu bukan jenis air mata kesedihan. Bukan pula kebahagiaan. Rena sendiri bingung kenapa ia menangis. Barangkali menangisi kebebasan yang tak lagi berada dalam genggaman, sudah ia lepas bersama status lajangnya beberapa saat lalu.

Ini keputusan yang besar. Terlalu besar untuk ia tanggung sendirian mengingat selama tiga puluh tahun terakhir Rena tidak pernah berkomitmen dalam bentuk apa pun dengan orang lain. Lalu kini menikah hanya dengan masa tunangan dua bulan yang sama sekali tak berarti. Dengan seseorang yang mungkin menganggapnya sama tak berartinya.

Andai bukan demi Yanti yang selalu mendoakan agar dirinya segera memiliki suami, Rena tak akan berani mengambil keputusan seekstrem ini. Tetapi, ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, makan saja selagi masih hangat.

Benar. Makan saja.

Rena menarik napas panjang saat Yanti dan Cinta menuntunnya menuju meja akad tempat Steel duduk. Lelaki itu berdiri kemudian, menyambut Rena yang memaksakan diri untuk tersenyum. Saat jarak mereka hanya tersisa beberapa puluh senti, Yanti menyuruh Rena mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan suaminya.

Suami. Ah, betapa kata itu terdengar familier sekaligus asing.

Di luar dugaan. Tangan Steel terasa begitu dingin. Sangat dingin. Sama dingin dengan milik Rena sendiri. Selain dingin, ini juga aneh. Perut Rena seperti diaduk-aduk saat menyentuhkan punggung tangan lelaki itu pada pucuk hidungnya, seperti banyak cacing tanah menggeliat-geliat di dalam sana. Dan menjadi mulas begitu Steel sedikit menunduk saat ia hendak menegakkan tubuh, lalu berbisik, “Deg-degan, huh?”

Ugh, Sial. Rena langsung mencampakkan tangan dalam genggamannya dengan kesal yang langsung mendapat teguran dari Cinta. Teguran pelan yang juga masih Steel dengar, terbukti dia ikut menoleh ke arah kakak ipar sang istri dan menatapnya selama sepersekian detik.

Rena tidak mengerti arti tatapan itu, tapi jelas perasaannya bergejolak. Seperti ditusuk beberapa jarum kecil tak kasat mata berkali-kali. Berkali-kali. Membuat suasana hatinya langsung muram seketika.

Berusaha mengabaikan hal tersebut, ia menurut saat Yanti menyuruhnya duduk dan menandatangani berkas-berkas pernikahan dalam diam. Bahkan tak menyahuti saat Steel berusaha mengajaknya bicara.

Penyesalan atas keputusan konyolnya mulai terasa sekarang. Amat terasa. Padahal belum juga pesta pernikahan ini berakhir.

Seharusnya, sekalipun mengiyakan ajakan Steel untuk menikah, Rena meminta waktu untuk perkenalan. Setidaknya waktu untuk mereka bisa saling dekat. Minimal sampai Steel benar-benar bisa melupakan Cinta.

Orang-orang bilang, lebih baik ditertawakan karena belum menikah daripada tidak bisa tertawa setelah menikah. Dulu Rena menyuarakan semboyan itu dengan lantang. Tapi kini, ia tidak yakin dirinya bisa merealisasikan.

“Apa aku ada salah? Kenapa dari tadi kamu tidak mengatakan apa pun?” tanya Steel begitu mereka sudah berganti pakaian ke gaun selanjutnya untuk resepsi. Masih di tempat yang sama. Atas permintaan Rena.

Win-win Solution, Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang