BAB 15

4K 1K 177
                                        

BAB 15

Karina cantik. Sangat. Tepat seperti yang Steel gambarkan. Tinggi, putih dan memiliki tubuh yang bagus. Rasanya wajar-wajar saja kalau Steel jatuh cinta pada wanita ini. Andai Rena laki-laki, mungkin ia juga akan merasakan hal serupa. Karina benar-benar memiliki visual idaman bagi setiap mata.

Hanya saja, dalam hal ini Rena terlahir sebagai perempuan. Istri dari laki-laki yang jatuh cinta pada wanita ini. Dan rasanya ... sulit dijelaskan. Seperti ada banyak tangan-tangan tak kasat mata mencubit ulu hatinya bergiliran. Ngilu tak berkesudahan.

Kebahagiaan yang baru saja Rena rasakan, sirna seketika. Bagai serbuk halus yang ditiup angin. Musnah dan hilang. Digantikan kekosongan.

Pernikahan ini baru berjalan dua bulan. Kenapa Karina harus menampakkan diri sekarang?

Ah, tidak. Yang benar adalah, kenapa Karina harus menampakkan diri sama sekali? Tidak bisakah ia terus melanjutkan perjalanan keliling dunia dan jangan pulang lagi? Atau, pulang saja nanti, saat Steel sudah memiliki anak cucu dan mulai pikun. Jangan sekarang. Jangan di saat Rena mulai berharap kebahagiaan ini akan bertahan selamanya.

Namun apa mau dikata. Hidup memang jarang berjalan sesuai rencana.

Menelan ludah kelat, Rena menarik tangannya yang tadi berjabat dengan wanita itu dan melirik Steel yang berdiri terpaku di sebelah. Terlihat bingung sekaligus terpukau. Steel bahkan tidak berkedip sama sekali. Membuat dada Rena kian ngilu saja.

“Kamu menikah kenapa nggak ngundang aku?” Adalah pertanyaan yang Rena ajukan dengan begitu ramah.

Mereka masih di sana, berdiri di sisi pintu masuk. Masih dengan sepatu seluncur yang belum terlepas dari kaki masing-masing. Rena sudah hampir jatuh lantaran tidak sanggup berdiri. Bukan, bukan disebabkan oleh sepatu yang dikenakan, melainkan faktor lain. Faktor lain yang kini berada tepat dua langkah darinya. Dalam bentuk bidadari masa lalu sang suami.

Tangan yang mulai gemetar, Rena sembunyikan di balik badan. Entah karena dingin atau takut.

“Bagaimana aku bisa mengundang kamu, saat aku bahkan tidak tahu kamu di mana,” ujar Steel dengan nada yang terdengar agak skeptis setengah pahit.

Karina meringis kecil, lalu terkekeh pelan dengan ekspresi yang menunjukkan sedikit rasa bersalah. “Maaf, tapi bagaimana pun selamat atas pernikahan kalian.” Di ujung kalimat, Karina melirik Rena dan tersenyum kian lebar.

Jauh berbanding terbalik dengan apa yang sempat Rena bayangkan.

Di pikirannya, Karina merupakan tokoh antagonis dalam kisah ini. Rena kira Karina akan bersikap ketus dan tidak menyukai kabar pernikahan Steel. Tapi ternyata isi kepalanya saja yang kotor.

Karina seramah itu, pantas kalau Steel kesulitan melupakan wanita yang satu ini. Meski demikian, seramah apa pun Karina, Rena merasa ia akan kesulitan menyukainya. Terutama bila perasaan Steel masih belum berkurang sama sekali pada teman masa kecilnya itu.

“Kamu sendiri, apa ... apa sudah menikah?”

Senyum Karina sedikit memudar. Ia melirik ke arah lain, pada kejauhan, tempat ke luar area seluncur dan mengangkat bahu pelan. “Sudah, tapi tidak lagi sekarang.”

“Cerai?”

Karina mengangguk mengiyakan. Steel makin tak bisa ditebak ekspresinya. Sedang Rena, mulai merasa ini bahkan lebih buruk lagi.

“Kenapa kita malah ngobrol di sini?” tanya Karina, berusaha mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia juga sadar bahwa topik pembahasan mereka sama sekali tidak menyenangkan. Baik untuk dirinya atau Steel. Bagaimana pun, dulu mereka pernah saling menyimpan rasa.

Win-win Solution, Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang