***
Hari sudah mulai gelap ketika pesawat yang ditumpangi Ata tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ata tak menunggu lama di titik jemput untuk melihat Audi yang sangat dikenalnya mendekat. Senyumnya refleks merekah. Walau senang bisa kembali ke Jakarta tanpa menunggu hingga tengah malam, Ata masih tak rela menghabiskan jutaan rupiah untuk sebuah tiket pesawat.
Beberapa hari sebelum kepulangannya ke Malang untuk menghadiri acara keluarga, Ata mengatakan pada Kafka bahwa ia akan pulang-pergi dengan kereta api. Sudah tentu, kereta api kelas ekonomi. Namun, Kafka tak sepakat dan mengomel perihal kereta api kelas ekonomi yang akan membuat Ata tak nyaman, apalagi untuk belasan jam perjalanan.
Opsi pertama, Kafka memintanya pulang-pergi dengan pesawat. Alasannya, efisiensi. Ata tahu benar, tetapi ia tidak punya cukup uang untuk membiayai sesuatu bernama efisiensi itu. Keduanya berdebat. Kemudian, Kafka memberi opsi kedua, dengan asumsi Ata mungkin lebih nyaman dengan perjalanan darat, asal naik kereta api kelas eksekutif. Ata mulai merasa opsi kedua tak masuk akal. Mau kelas ekonomi atau eksekutif, waktu tiba di Malang sama saja. Yang berbeda hanya pelayanannya, dan Ata tak butuh pelayanan bentuk apa pun. Ia bisa menjaga diri selama perjalanan.
Kafka merengek, tak mau sepakat, padahal laki-laki itu tidak ikut dengan Ata dan tidak akan menghirup udara di kereta api kelas ekonomi. Kafka tidak mengenal kelas ekonomi sepanjang hidupnya, Ata paham. Namun, tidak seharusnya laki-laki itu merasa kelas ekonomi mengerikan. Ata sudah terbiasa dengan kelas itu selama hidupnya, dan ia masih baik-baik saja hingga sekarang.
Lagi-lagi, mereka mendebatkan sesuatu yang tidak perlu. Kafka tidak menyerah, dan Ata tahu apabila ia menerima, maka laki-laki itu akan membayar semuanya. Ata bisa membaca maksud dan gelagatnya tanpa kesulitan.
Di hari ketika Ata harus memesan tiket, Kafka hanya mengatakan terserah sambil sibuk main online game dengan Jeric. Jika Kafka tak kelihatan akan menjebolkan keyboard-nya karena laki-laki itu bermain dengan penuh kesal, Ata tak akan menawarkan satu opsi sebagai jalan tengah. Kafka boleh membayarinya, tetapi laki-laki itu harus memilih satu saja.
Sementara Ata membayar untuk tiket berangkat—masih dengan pilihan awal, Kafka membelikan tiket pulang. Dengan pesawat. Supaya efisien. Ata merasa mual mendengar Kafka mengatakan efisien berkali-kali.
"Acara teman kamu udah selesai?"
Ata menoleh pada Kafka ketika laki-laki itu mengangguk dan mencondongkan tubuh ke arahnya, memberi kecupan singkat di bibirnya. "Acara utama udah selesai, tapi mereka masih bakal minum sampai midnight. Aku nggak ikut karena aku lebih suka ngabisin waktu bareng cewek yang dua hari ini ninggalin aku di Malang dan susah dihubungi."
Sontak, tawa Ata berderai. Ia mengangkat satu tangan untuk menahan tengkuk Kafka dan membalas kecupannya, sama singkatnya.
"Wangi banget mobil kamu." Ata memasang sabuk pengaman sebelum melirik Kafka yang mulai mengendalikan kemudi, membawa mobilnya keluar dari area titik jemput bandara yang ramai. "Parfum cewek kayaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...