Preliminary - Fairytale (1.3)

2.2K 321 14
                                    

"To summarize all my requests, can I call you mine, Taa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"To summarize all my requests, can I call you mine, Taa?"

Ata masih terpaku di tempatnya. Pertanyaan itu, walau sudah diduganya, tetap saja membuat jantung Ata berdebar kencang. Dadanya terasa penuh oleh berbagai perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara di antara mereka. Di sampingnya, Kafka pun membisu sambil mengelus-elus Vivi yang bergelung di pangkuan laki-laki itu. Memanfaatkan keterdiaman Kafka, Ata mempertimbangkan hal-hal yang bisa dijangkau oleh pikirannya saat ini.

"Kaget, ya?" tanya Kafka pelan, tetapi terdengar tegas.

Tampaknya Kafka tak tahan membisu begitu lama. Dan Ata merasa sudah kehabisan waktu walau Kafka sama sekali tak mendesaknya.

"Ya ... lumayan." Ata tersenyum tipis dan menoleh pada Kafka. Ketika pandangan mereka bertemu, Ata merasa jantungnya makin berdebar hingga ia merasa Kafka bisa mendengar itu. Sejujur-jujurnya, ini bukan kali pertama bagi Ata. Tentu saja ia pernah mendapat pernyataan serupa, tetapi saat ini rasanya jauh berbeda. Entah bagaimana bisa. Ata tak punya penjelasannya. "Harus dijawab sekarang, Kak?"

Kafka menggeleng tanpa mengalihkan tatapan darinya. Senyumnya santai dan penuh percaya diri. Seolah-olah tidak baru saja mengajukan sesuatu yang terasa begitu besar—setidaknya bagi Ata. Mungkinkah Kafka tidak benar-benar serius? Atau, mungkinkah ini hanya dianggapnya sebagai hal yang biasa?

Namun, sisi hatinya yang lain langsung menyangkal. Serius dan tidak serius, biasa dan tidak biasa, adalah penilaian yang sangat subjektif. Ata tak seharusnya memutuskan itu secara sepihak.

"Take your time, Taa. Aku tunggu sampai kamu punya jawabannya." Bahkan, suara Kafka pun sudah berubah santai.

"Kamu serius, Kak?"

"Hm?" Kafka mengerjap. "Kenapa kamu mikir aku nggak serius? Did I do something inappropriate?"

Ata kontan menggeleng. "Bukan gitu. Maksudku ... aduh, gimana, ya, ngomongnya ...."

Kafka tersenyum kecil sambil menelengkan kepalanya untuk lebih leluasa menatap Ata. "Oh, maksudnya, kamu bertanya-tanya, kenapa aku nggak kelihatan nervous?"

Aduh. "Maksudku—"

"If you could listen to my heartbeat now," kata Kafka pelan-pelan, seolah berusaha menggugurkan satu demi satu ketidakyakinan yang menahan Ata. "Kamu pasti ngerasa dia berisik banget."

Oh, God.

"Aku nggak tau kenapa aku nggak kelihatan nervous di depan kamu," ucap Kafka lagi, saat Ata masih diam. "Tapi kalau kamu mau tau apa aku ngerasain sesuatu yang jadi ciri-ciri seseorang jatuh cinta, jawabannya: iya. Aku cuma belum cukup bisa nunjukin itu ke kamu. Gitu, ya, maksudmu?"

He's so ... tempting and dangerous at the same time.

"Once again, take your time. Selagi kamu mikirin jawabannya, kita bisa lebih saling kenal lagi. Kamu boleh kenal aku lebih dari ini, dan kamu ngasih izin aku buat lebih kenal kamu. Gimana?"

Ata mengangguk. Walau sangat sulit, Ata merasa sudah saatnya ia buka suara. "Oke."

Raut Kafka melembut. Sebelum kehilangan keberanian, Ata meneruskan, "Aku mau."

"Ya?"

"I want to be yours, Kak."

***

Keberanian Ata enam tahun lalu tidak pernah sia-sia. Benar. Ada tawa, tangis, luka, dan bahagia. Maka, begitulah kemudian sesuatu yang ia dan Kafka miliki bersama dapat disebut sebagai hubungan.

Tidak ada hubungan yang sempurna di dunia ini. Tidak akan pernah ada. Enam tahun berlalu dan Ata sampai pada satu kesimpulan bahwa selama bersama Kafka, ia bisa melalui segalanya. Segala yang mulanya terasa berat dan nyaris tak mungkin. Mereka bersama-sama untuk enam tahun yang bermakna. Kini, saat melihat bahwa Kafka masih bersamanya, Ata bersyukur karena ia hampir selalu memutuskan untuk bertahan, dan bersyukur karena Kafka berhasil membuatnya bertahan.

Walau begitu, tidak berarti Ata berhenti bertanya-tanya. Sesekali, beberapa pertanyaan terlintas begitu saja dalam benaknya. Terlebih ketika ia merasa dunianya begitu berbeda, jauh berbeda dibandingkan sebelum kedatangan Kafka.

Nyatakah ini semua?

Nyatakah hubungan yang dijalaninya bersama Kafka?

Nyatakah keberadaannya di tengah-tengah hidup Kafka yang begitu gemerlap?

Dan, masih banyak lagi.

Pada satu waktu, Ata merasa hidup di negeri dongeng yang dulu hanya ia lihat di buku-buku bergambar sewaktu masih TK. Ata merasa semua yang mengelilinginya terasa tidak nyata, karena terlalu indah.

Lalu pada satu waktu yang lain, saat menyadari untuk yang kesekian kali bahwa keberadaan Kafka sangat nyata, Ata merasa ... mungkin suatu dongeng bisa menjadi nyata. Mungkin kisah indah para putri yang dipinang pangeran, kemudian dibawa ke kerajaannya yang megah, bisa menjadi nyata.

Dan pada saat itu, Ata tak merasa keberatan. Tentu saja, hanya jika Kafka yang menjadi pangerannya. Hanya jika Kafka yang membawanya ke kerajaan megah bernama Wangsa.

 Hanya jika Kafka yang membawanya ke kerajaan megah bernama Wangsa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Sayang. How was your day?"

Ya, inilah pangerannya. Ia tak menunggang kuda, melainkan mengendarai Audi yang baru tiba di Indonesia bulan lalu dan masih tampak berkilau di lobby drop off kantornya yang lengang. Saat ini sudah pukul sembilan malam dan Ata berharap tidak ada yang memergoki mereka, terutama saat Kafka memeluknya singkat. Ata bosan ditanya-tanyai oleh para seniornya dengan pertanyaan yang tak pernah berubah. Yang intinya selalu: bagaimana cara menaklukkan keturunan Wangsa?

"Good, kayak biasanya." Ata membiarkan Kafka membukakan pintu mobil untuknya. "Ya, meskipun capek."

"Mau pulang ke mana?"

Ata tersenyum geli. "Harus banget ditanya kalau aku udah dijemput gini?"

Kafka tertawa pelan dan membungkuk begitu Ata duduk di kursi penumpang. Saat Ata hendak memperingatkan, Kafka memasangkan sabut pengaman untuknya sambil mengulas senyum gemas. Sudah tentu, Kafka sengaja mengodanya.

"Oke, kita ke apartemen." Kafka tersenyum di bawah cahaya lampu lobi yang menerangi keduanya. "Besok jangan pulang telat, ya? Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu."

***

"1st Page" is loading ....

Fiance #2 (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang