***
"Iya, aku yang nemenin Papa di rumah sakit. Nggak apa-apa. Kak Winda tenang, ya. Aku bisa bawa kerjaanku ke rumah sakit."
Setelah memastikan Winda tak lagi panik dan sambungan telepon diputus, Ata segera meletakkan ponsel di ujung meja, kemudian membereskan mejanya yang penuh kertas-kertas. Lima menit sebelum meninggalkan ruang pertemuan, Ata mendapat panggilan telepon dari sekretaris Adhi. Di jam makan siang yang sibuk, ia mendapat kabar bahwa papa tunangannya dilarikan ke rumah sakit karena ambruk di tengah-tengah rapat. Ata belum sempat duduk ketika teleponnya berdering beberapa kali. Saat ini, tidak ada yang bisa menemani Adhi di rumah sakit, selain Ata. Meski sejujurnya Ata tak yakin bisa bekerja dari rumah sakit.
Semua sibuk. Semua sedang dikejar waktu. Istirahat makan siang adalah mitos. Sebelum menerima telepon dari Winda yang panik di tengah-tengah liputan di Tangerang, Ata dihubungi oleh Irina. Kakak sulung Kafka itu sedang berada di Tokyo untuk pertemuan bisnis ketika menelepon Ata dan memohon untuk mendampingi papanya di rumah sakit. Satrio dalam perjalanan menuju Cambridge, melakukan kunjungan yang entah apa dengan salah satu kementerian, ketika berbicara dengan Ata persis setelah ia keluar dari ruang pertemuan. Ata tak bisa menyimak dengan sempurna dalam kondisi dijejali informasi dan permintaan-permintaan mendesak.
Biasanya, di saat-saat darurat, Jeric yang tak terikat jam kerja perusahaan hampir selalu bisa diandalkan. Namun, kali ini tidak. Laki-laki itu tengah berada di Manila untuk tampil pada acara festival yang diadakan oleh media entertainment Amerika Serikat. Sama halnya Jessy. Perempuan itu tidak berada di Jakarta sepekan belakangan. Usai berpartisipasi dalam Paris Fashion Week, Jessy langsung mengambil penerbangan ke Bali untuk memenuhi undangan dari salah satu merek yang mengontraknya. Dua hari yang lalu, Mara juga pergi ke Bali untuk melakukan soft launching sekaligus quality control terhadap produk-produk perhiasan terbarunya.
"Taa, sudah dikabari sekretarisnya Om Adhi?"
Ata menoleh ke asal suara, sejenak menghentikan kegiatannya menyortir kertas-kertas yang perlu ia bawa ke rumah sakit. Dari arah pintu masuk ruangan ini, Andra berderap ke arahnya. Sebelum Ata sempat menjawab, ponsel dalam genggaman Andra berdering dan laki-laki itu menjawab ketika berdiri di dekat mejanya.
"Ya, Ata sama gue, Dan. Dia di sini. It's okay, calm down ... Ya, calm down." Andra menyodorkan ponselnya pada Ata yang kebingungan. "Ardan mau ngomong. Dia nggak bisa telepon kamu. Nggak masuk, katanya."
"Aku baru selesai ditelepon Kak Winda." Ata meringis, segera sadar ia baru saja bersikap tidak formal. Otaknya kusut, dan ia dipaksa untuk tenang. Ia merasa lupa segalanya. "Kak Ardan—"
"Taa, I need your help. Papa masuk rumah sakit. Kamu bisa ke sana dulu sampai aku datang? Jessy panik, Kafka nggak bisa ditelepon, dan Papa bakal di rumah sakit sendirian. Sekretarisnya harus balik ke kantor."
Ardan sedang berada di Fairmont untuk pertemuan bisnis ketika mendapat kabar tersebut. Ata sudah menerima pesan dari Jessy sejak beberapa menit lalu, tetapi tak sempat ia baca karena ponselnya kebanjiran panggilan masuk. Ia tidak bisa melakukannya sekaligus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...