***
"Pak Andra itu spesies yang bisa ngomelin siapa aja, apalagi kalau hasil kerjaannya nggak sesuai standar dia. Tapi dia nggak pernah sekalipun ngelakuin itu ke Atalla! Padahal kerjaannya itu cewek sering nggak bener. Gue yakin nih, kalau Atalla bilang 'nggak bisa' di depan Pak Andra, pasti mantan bos lo itu langsung ngelempar kerjaan ke analyst lain!"
Refleks, tangan Ata yang hendak memeriksa tumpukan kertas di dekat meja printer dan mesin fotokopi tergantung di udara. Seharusnya, Ata berbalik pergi atau segera menyelesaikan urusannya, tetapi kakinya justru terpaku di tempat. Berjarak dua partisi dari tempatnya berdiri, suara itu terdengar amat jelas—walau diucapkan dengan pelan. Ruangan ini nyaris tanpa suara selain ketikan keyboard dari segelintir staf yang masih berada di depan komputer masing-masing. Ata yakin, hanya dirinya yang mendengar, karena hanya dirinya yang tak menyumpal telinga dengan AirPods.
Pukul delapan malam, Ata masih di kantor. Masih berkutat dengan setumpuk kertas yang banyak coretan merah dari Andra. Masih menjadi satu dari segelintir staf yang tak bisa pulang sebelum revisi selesai. Sejak sore, printer di mejanya eror, padahal ia memerlukannya. Hendak melapor ke teknisi, jam aktif kantor sudah berakhir, sehingga Ata menahan sampai besok pagi. Karena itu, Ata harus bolak-balik mencetak hasil pekerjaannya di mesin printer yang tersedia di sayap kiri ruangan. Di sana, berjajar beberapa mesin yang bisa digunakan siapa pun. Mesin kopi pun ada, dilengkapi kopi kapsul yang tak pernah habis. Dan, membuatnya harus mendengarkan ini. Sesuatu yang terasa sangat pertama kali.
"Lo tau lah, dia siapa, Mbak." Itu suara Erisa, data analyst yang kini bekerja di bawah Yuniar, project manager lain—yang juga bekerja di lantai ini. Setelah enam bulan lalu berada di bawah kepemimpinan Andra.
"Tapi makin lama, makin nggak masuk akal, Sa." Yang ini, suara Viona, senior analyst yang bekerja untuk Andra. Satu bulan terakhir, Ata bekerja dengannya. Viona adalah project leader untuk investasi salah satu perusahaan real estate dalam negeri yang namanya terus bergaung dalam lima tahun terakhir. "Cuma Atalla yang selalu dapet revisi substansial dari Pak Andra. Kalau gue protes, dia bilang gue nggak teliti. Sekalinya revisian gue nggak masuk paper shredder, yang diperhatiin malah hal-hal remeh. Typo, lah. Tabelnya kurang, lah. Halamannya kelebihan, lah. Spasinya nggak standar, lah. Kenapa, sih, dia harus bangeeet ngeremehin gue di depan si Atalla? Dan bukannya bantuin gue, itu cewek malah sok innocent di depan Pak Andra. Sial!"
Ata meneguk ludah. Merasakan sesuatu yang pahit mengalir di tenggorokannya, padahal ia tak menenggak apa pun saat ini. Ata mengerti kemarahan Viona. Itu pasti karena kejadian dua hari lalu, saat salah satu dari dewan direksi turun gunung untuk mengetahui langsung pekerjaan para analyst dan advisor-nya. Semua dikumpulkan pada ruang rapat di lantai dua puluh. Pada saat itu, Ata menginjak dua project berbeda—mengingat kualifikasinya baru sampai pada tahap membantu para ahli. Ia bekerja dengan Viona dan Javier. Pekerjaannya dengan Javier dan satu staf yang lain tak menimbulkan masalah. Semuanya terkontrol. Namun, dengan Viona, Ata tertimpa sial. Mereka tertimpa sial. Saat Ata mengira ia akan dihabisi di sana bersama tim yang berada di bawah Viona, Andra menyelamatkannya, kemudian mengumpankan Viona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...