***
Pukul lima sore, meja kerja Ata sudah bersih dari kertas-kertas penuh angka dan pulpen yang beterbaran. Tasnya pun sudah siap dijinjing kapan saja. Hanya tersisa ponsel di mejanya yang nyaris licin. Meski begitu, komputernya masih menyala.
Beberapa menit yang lalu, tepat setelah pekerjaannya hari ini tuntas, datang sebuah pesan dari Ardan yang isinya, "Aku jemput, Taa. Kita ke rumah Papa bareng."
Jumat kali ini, Ata diminta datang untuk makan malam bersama keluarga Kafka oleh Mara. Kafka mengonfirmasinya siang tadi, tetapi laki-laki itu tak bisa pulang dan menjemput Ata sebelum pukul enam sore, karena itu Ardan menawarkan diri. Entah bagaimana Ardan tahu. Saat mendapatkan pesan itu, Ata langsung meminta Ardan menunggu saja di lobby drop off dengan mobilnya, dan Ata akan menyusul turun. Ia sungkan apabila terus merepotkan Ardan. Namun, Ardan menolak dan membalas, "Aku jemput. Sekalian lihat-lihat."
Lihat-lihat apa pula ini? Ata tak berani bertanya, meski kecemasannya itu tak cukup beralasan. Tak lama kemudian, Ardan datang bersama Andra yang baru selesai berapat dengan beberapa financial advisor di lantai ini.
Ardan keluar dari ruangan Andra dengan wajah semringah. Laki-laki itu menghampirinya dan Ata merasa punggungnya dingin oleh tatapan beberapa pasang mata di ruangan ini. Pada saat itu, kecemasannya menjadi beralasan. Selagi menunggu Ata mematikan komputernya, Ardan tiba-tiba menghampiri Viona yang berdiri di depan mesin kopi. Ata tak bisa mendengar apa pun yang dikatakan Ardan pada Viona, tetapi ketika berbalik, laki-laki itu sudah memegang segelas kopi. Seolah itu tak cukup membuat Ata lemas, Andra menunggu di ambang pintu ruangannya, dengan tatapan yang sama sekali berbeda dari biasanya—saat Ardan menjemput Ata. Bahkan atasannya itu menitip salam pada Kafka. Biasanya, tidak begitu. Jika bisa bertemu hampir setiap minggu—untuk main golf, tenis, atau bowling, mengapa harus menitip salam? Ata tak mengerti, atau mungkin naif. Yang pasti, Ata tak sanggup memikirkan sesuatu yang bisa membuat kepalanya pening.
Mereka mencapai lift dan pintunya terbuka beberapa saat kemudian. Lift itu kosong. Ata lega karena tak perlu merasa canggung di samping Ardan, saat ada orang lain yang bersama mereka. "Jadi dia yang namanya Viona, Taa? Yang namanya Erisa ada di ruang sebelah, ya? Anak buahnya Yuniar?"
Ata mengerjap dan segera menoleh pada Ardan yang menyesap kopinya dengan santai. Tiba-tiba sekali.
"Maksudnya ... gimana, Kak?" Dari semua pertanyaan Ardan, tidak satu pun bisa Ata jawab.
Ardan tersenyum kecil. Lesung yang dalam segera tercetak di pipinya. "Kafka bilang, kamu digangguin dia."
"Gimana ...." Suara Ata tertelan debar jantungnya yang menjadi dua kali lipat lebih kencang.
"Sabtu kemarin, Kafka mendadak bikin konferensi online. Katanya, mau curhat. Penting dan nggak bisa ditunda." Tawa ringan Ardan berderai sebelum melanjutkan, "Curhatnya ke semua orang. Ke Kak Irina, Satrio, Kak Winda, Jeric, Jessy, dan aku. Waktu itu, kamu nggak ikut. Dia bilang, kamu sakit dan lagi istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...