Hai, ini lanjutan Page sebelumnya, ya. Prompt page ini bisa dilihat di 6th Page (1). Happy reading!
***
"Kamu mau pilih yang mana, Sayang?"
Ata menoleh ke asal suara dan mendapati Kafka keluar dari kamar mandi yang terletak di ujung ruangan ini. Satu setengah jam selepas makan malam dan mengobrol sebentar, Kafka mengajak Ata membersihkan diri sebelum kembali bergabung untuk karaoke di studio kedap suara yang berada pada lantai tiga rumah ini.
Urutannya begini. Berkumpul untuk makan malam bersama pada hari Jumat, mengobrol santai, mandi—untuk siapa pun yang belum melakukannya sebelum makan, kemudian karaoke di lantai tiga.
Semenjak Jeric hadir di keluarga ini bertahun-tahun lalu, Adhi tiba-tiba mengubah lantai tiga yang semula untuk tempat minum teh di sore hari menjadi studio musik dengan berbagai instumennya. Padahal, menurut cerita Kafka, papanya sangat buta nada dan segala yang berhubungan dengan musik. Pembicaraan bahwa Jeric adalah wujud menantu gagal di keluarga Adhiwangsa, karena tidak datang dari ranah bisnis, sama sekali tak benar. Gosip belaka. Tuduhan tak berdasar. Adhi mungkin tak memamerkan maupun membanggakan Jeric di depan kolega bisnisnya seperti ketika ia melakukan untuk Satrio, tetapi laki-laki setengah baya itu sangat menerima kehadiran Jeric dalam hidup putrinya. Singkatnya, Adhi menyayangi Satrio, Jeric, dan Ardan dengan porsi yang sama.
Karena itu, setidak-tidaknya sebulan sekali, studio musik akan digunakan. Akan selalu ada makan malam bersama di rumah orang tua Kafka, pada hari Jumat selepas jam kerja—semua anak dan menantu diharapkan tidak bekerja lembur di hari itu, yang kemudian dilanjutkan dengan karaoke sampai tengah malam. Formasinya berubah-ubah, tetapi Jeric yang selalu tak punya identitas karena laki-laki itu bisa semua instrumen musik dan menyesuaikan dengan siapa pun. Adhi dengan gitar akustik—yang hampir selalu dipetik asal hingga menimbulkan suara sumbang, Ardan dengan drum atau bass, Kafka dengan keyboard. Satrio tak punya bagian karena seberapa pun ia belajar, alat musik bukan sesuatu yang bisa ditaklukkannya.
"Milih apa?" tanya Ata sambil meletakkan ponsel pada nakas dan berbaring di antara bantal-bantal yang nyaman.
"Papa nawarin kamu pindah kantor. Ardan ngasih kamu kesempatan supaya Viona diurus biar nggak ganggu kamu lagi."
Masih bertelanjang dada, Kafka berjalan menuju sayap kanan kamar ini. Tempat beberapa lemari, laci, dan rak-rak ditata. Kafka tak disediakan wardrobe room. Namun, kamar Kafka yang paling luas di rumah ini. Mungkin hampir tiga kali lipat dari kamar mama dan papanya, sehingga sepertiga ruangan difungsikan sebagai tempat menyimpan baju dan barang-barang Kafka yang begitu banyak.
"Kamu pilih yang mana, Cantik?" tanya Kafka lagi sembari menarik selembar kaus dari lemari.
Ata diam sebentar. Walau sudah punya jawaban, Ata merasa lidahnya kelu untuk mengatakan itu.
"Atau nggak dua-duanya?" tanya Kafka lagi sambil memakai kausnya. Kini laki-laki itu berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya dengan jemari. Tak lama, ia menghampiri Ata dan duduk di pinggir ranjang. Tangannya yang dingin mengelus pipi Ata. "Mau resign aja, terus nikah sama aku? Ayo, aku siap kapan aja. Kamu bisa atur manajemen sendiri. Kamu boleh ambil cuti kapan aja. Kamu juga punya otoritas untuk anggaran belanja kita."
"Kaf ...." Ata memejamkan mata. Menikmati sentuhan Kafka di pipinya.
Seutas senyum tersemat di bibir Kafka ketika Ata membuka mata kembali. "Gimana? Mau? Offer yang lain menyusul. Kalau kamu setuju, aku susun proposalnya."
"Coba lagi, deh, kapan-kapan. Jangan pas aku lagi ngantuk dan kamu lagi pakai kaus sama celana kolor gini." Ata tahu, Kafka tidak sepenuhnya serius. Mereka sudah membicarakan perihal ini dan Kafka bersedia menunggu sampai Ata siap. Sesuatu yang belum bisa ia berikan pada Kafka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...