Setelah hari itu, Kafka sering mengajaknya bertemu. Ata mengerti, ada sesuatu yang jauh berbeda di antara dirinya dan Kafka apabila dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka.
Setelah hari mereka bertemu untuk yang kedua kali dan minum es bersama di kantin teknik, Ata merasa Kafka mendekatkan diri padanya. Laki-laki itu kerap mengirim pesan pada Ata walau untuk sekadar bertanya apa ia berada di kampus hari ini, dan apa saja kegiatannya. Laki-laki itu juga beberapa kali mengajaknya bertemu. Tak jarang, selepas Ata selesai mengerjakan tugas, Kafka menelepon dan mereka membicarakan hal-hal acak yang mengalir begitu saja. Ata tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, tetapi ia membiarkannya.
Dan, satu lagi. Kafka beberapa kali menunjukkan daftar putar Spotify-nya pada Ata. Lantas mereka akan membicarakan selera musik masing-masing, preferensi mendengarkan lagu dengan genre tertentu pada beberapa momen, hingga musisi kesukaan satu sama lain. Itu kerap terjadi ketika mereka tak bisa bertemu dan hanya bertukar kabar melalui pesan singkat. Dari semua hal random yang Kafka perlihatkan padanya, Ata merasa yang ini adalah yang paling random. Ata tak pernah mengira bahwa laki-laki jutek nan sinis bisa bertingkah seperti itu.
Mengenal Kafka berminggu-minggu membuat Ata perlahan mengubah asumsi yang sebelumnya ia sematkan pada laki-laki itu. Kafka memang masih tampak jutek dan sinis, tetapi itu tidak dilakukannya pada Ata. Kafka masih irit bicara—seperti pertama kali mereka bertemu, tetapi bukan dengan intensi yang ingin membuat lawan bicaranya enggan bersama laki-laki itu.
Singkatnya, Kafka tidak terlalu seperti ketika pertama kali mereka bertemu.
"Hai, Taa."
Dan, Kafka tidak pelit senyum. Meski menurut Arrum, itu hanya dilakukan di depan Ata. Seperti siang ini, ketika Ata menghampirinya pada salah tempat duduk di kantin FEB. Laki-laki itu tersenyum. Yang tidak hanya memikat Ata, melainkan juga memikat beberapa perempuan di sekitar mereka.
"Nunggu lama, Kak?" tanya Ata sembari meletakkan beberapa buku ekonomi di atas meja dan duduk di seberang Kafka yang menggeleng. Di tengah-tengah meja ada segelas es jeruk yang tersisa seperempat.
Semalam, Kafka menyatakan keinginannya untuk bertemu Ata. Ketika bertanya lebih lanjut, Ata hanya mendapat jawaban bahwa laki-laki itu ingin menunjukkan sesuatu padanya. Maka, di sinilah mereka kemudian berada. Kafka bersikeras menunggu Ata selesai kelas Pengantar Ekonomi Makro di kantin karena lebih dulu selesai dengan kelasnya di FT. Padahal Ata sudah berkali-kali mengatakan bahwa Kafka bisa menunggu di fakultasnya karena ia tak keberatan menghampiri laki-laki itu.
"Temen-temen kamu mana?" tanya Kafka sembari mengedarkan pandangan sebelum memakunya kembali pada Ata. Mereka bahkan sudah mengubah panggilan untuk satu sama lain—yang tanpa Ata benar-benar sadari, dan membuatnya tak bisa mengelak. Itu makin menegaskan bahwa ada yang sangat berbeda di antara mereka.
"Kania sama Ketty ke perpus, nyari referensi buku buat tugas Makro hari ini. Jani sama Arrum beli makan buat mereka berempat."
"Mereka nggak keberatan kamu di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...