***
Mbak Gina: Tante, ini Oca.
Ponselnya berdenting tepat ketika lift yang membawa ke lantai dasar juga berdenting. Ata membuka notifikasi teratas dan tersenyum ketika membaca pesan singkat tersebut. Hari ini, Kafka mengajaknya makan siang, setelah beberapa kali Ata makan sendirian atau makan dengan Javier, karena laki-laki itu ada saja acaranya setiap lunch break. Sambil berjalan menuju lobby drop off dan berdiri di tepi kanan, Ata menghubungi nomor ponsel kakak iparnya.
"Tante nyariin aku? Kenapa?" Suara riang itu menyapanya setelah beberapa saat menunggu.
Ata refleks tersenyum. Memeriksa arlojinya, waktu menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit. Kafka kemungkinan akan sampai dalam lima sampai sepuluh menit. Ia bisa berbicara sebentar dengan keponakannya.
"Iya. Oca pilih yang mana?"
"Pilih apa?"
Kebingungan segera menyergapnya. "Lho, Oca nggak dikasih tau Mama, ya? Tante kirimin gambarnya ke Mama. Oca pilih dulu, nanti Tante cariin di tokonya."
Mulanya, pekan lalu, saat bertelepon dengan Ardi yang menyampaikan berita kehamilan istrinya, Ata mendengar keponakannya itu menginginkan rumah boneka, seperti yang sering dilihatnya di tayangan kartun. Karena harganya tak murah—bagi seluruh keluarga Ata yang biasa saja, Ardi berpikir berkali-kali untuk membelikannya. Apalagi, mainan itu hanya bisa dipajang setelah disusun.
"Tapi ... aku nggak boleh beli itu sama Mama, Tante." Suaranya sedih, setelah Ata menjelaskan bahwa ia sudah mengirim beberapa tangkapan layar produk rumah boneka dari salah satu toko mainan di mall Jakarta. Demi keponakannya, Ata rela merogoh kocek yang tak sedikit.
"Belinya pakai uang Tante, kok. Bukan uang tabungannya Oca."
"Sama Papa juga nggak boleh ...." Suaranya makin sedih. "Mahal. Nanti uangnya Tante Ata habis."
Ata ikut merasa sedih. Keluarganya memang tak kekurangan, tetapi tak juga lebih. Semua serba pas. Kadang, Ata mendapati Oca baru memiliki satu mainan setelah semua temannya punya. Kadang, malah tak mendapatkan sama sekali. Ardi dan Gina sama-sama bekerja. Walau begitu, kebutuhan mereka banyak dan tak bisa terus menuruti keinginan putrinya. Terlebih, Oca sudah sekolah dan sekarang mereka menantikan kelahiran anak kedua yang butuh biaya besar. Ata tahu, kakaknya memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan.
"Nggak, Tante kan kerja. Tante punya uang, kok." Ata bingung menjelaskan perihal ini pada anak umur tujuh tahun yang sudah bisa menghitung uang. "Bilang sama Papa, ini hadiah dari Tante buat Oca, karena Oca udah pinter, rajin belajar, dan dapat juara kelas."
"Tapi waktu juara kelas, aku dikasih sepeda."
"Itu dari Om Kafka, kalau yang ini dari Tante Ata." Jika bukan karena Kafka ikut mendengar obrolannya dengan Ardi seusai pengambilan rapor putrinya akhir tahun lalu, dan karena Kafka mengulangi kata keluarga di telinganya sampai ia yakin sangat bosan mendengar itu, Ata tak akan menyetujui sebuah sepeda yang dihadiahkan untuk keponakannya. Itu sempat membuat keluarganya sungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...