14. Rumah Sakit

5.2K 419 21
                                    

PAGI itu, Mahesa datang seorang diri ke rumah sakit menjenguk Raden setelah dini hari tadi ia baru tiba di Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PAGI itu, Mahesa datang seorang diri ke rumah sakit menjenguk Raden setelah dini hari tadi ia baru tiba di Jakarta. Pria dengan setelan kantor itu memandang anaknya yang kini tengah menikmati tayangan TV di atas brankar tanpa mempedulikan keberadaan Mahesa di sisinya.

Mahesa menghela napas dan mengantongi tangannya di saku celana formal yang ia kenakan. "Kamu tau, Raden? Papa benar-benar pengin nyakar-nyakar wajah kamu sekarang. Bisa-bisanya kamu sesantai ini setelah kena tembak?"

Raden hanya melirik sekilas dengan wajah tanpa minat.

"Kamu kenapa bisa sampai kena tembak, hah? Ngapain kamu di luar sana? Teman tawuran kamu ada yang bawa pistol, hm?" tanya Mahesa lagi, tetapi Raden setia bergeming.

"Raden, jawab pertanyaan Papa!" Mahesa menyentak kesal.

Raden berdesis jengah dengan jari kelingking yang menutup telinga. Ekspresinya benar-benar menyebalkan di mata Mahesa.

"Kamu—"

"Kalo Papa datang cuma buat ngomel, sana keluar! Jangan sampe keluar dari sini aku malah periksa ke dokter THT gara-gara Papa."

Mahesa meraup wajahnya putus asa. Tingkat kurang ajar Raden padanya semakin di luar batas. "Berhenti buat masalah, Raden. Bisa nggak kamu fokus sekolah aj—"

Raden membanting remot TV ke lantai dengan perasaan muak.  "Papa mau tau kenapa aku bisa kayak gini?"

Mata hitam itu menatap Mahesa dengan nyalang. "Ini semua karna Papa! Pernah nggak sekali aja Papa nyari di mana Mama? Pernah nggak sekali aja Papa nangisin kepergian Kak Rania? Pernah nggak sekali aja Papa menyesali semua kesalahan Papa, hm? Pernah nggak?"

Mahesa menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit melewati kerongkongannya menatap mata berkaca Raden yang memerah. Pria itu menunduk menatap ujung sepatu pentofel hitamnya.

"Papa—"

"Keluar."

Mahesa mengangkat wajah melihat Raden yang menatap lurus ke arah TV. Enggan melihat dirinya.

"Oke. Papa bakal keluar dan pergi dari sini. Kamu istirahat yang baik." Mahesa mendekat ke arah Raden, ingin mengusap rambut hitam yang sudah lama sekali tidak ia sentuh, namun Raden menjauhkan kepalanya.

"Keluar."

Mahesa menarik tangannya menjauh dengan perasaan sesak. "Papa pamit. Ikuti apa kata dokter. Sebentar lagi Ruby bakal datang jenguk kamu."

Kepala Raden otomatis menoleh menatap wajah Mahesa yang tersenyum tipis padanya. Saat Raden hendak protes mendengar Ruby akan datang, Mahesa sudah lebih dulu berbalik pergi dan menghilang di balik pintu putih itu.

Raden mengacak rambutnya kesal. Kenapa Mahesa harus memberitahu Ruby?

✩✩✩

RADENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang