30. Cinta Sendirian

4.6K 326 110
                                    

RADEN bersyukur rasa khawatirnya tentang Ruby yang tidak menerima kehamilannya hanyalah prasangka belaka. Ruby bukan tidak menerima, ia hanya terlampau kaget. Usianya masih sangat dini untuk mengandung, ditambah statusnya sebagai seorang siswa membuat perasaannya campur aduk.

Setelah mengetahui kehamilan Ruby, Raden bersikap semakin protektif. Apalagi ketika mengingat kejadian saat Ruby dicaci-maki karena foto-foto kedekatan mereka disebar oleh paparazzi. Salah satu bentuk protektif dari laki-laki itu adalah mengantar Ruby sampai ke depan kelas. Kemudian, ia akan beranjak setelah memastikan Ruby duduk aman di bangkunya.

Lalu, saat istirahat dan jam pulang, Raden kembali lagi untuk menjemput. Hal seperti itu sudah berulang kali terjadi, hingga eksistensi seorang Raden yang bersandar di tembok samping pintu bukan lagi hal asing bagi penghuni XI IPA 1.

Banyak dari mereka yang membicarakan Ruby. Sebagian merasa iri dan menganggap Ruby beruntung bisa membuat Raden sampai menjadi budak cinta seperti itu. Sebagian lagi mencemooh merasa Ruby tidak pantas untuk seorang Raden Gandana Mahesa.

Ruby cukup terusik. Syukurnya, Raden selalu membuatnya percaya diri bahwa tidak ada yang lebih pantas untuk laki-laki itu selain dirinya. Ya, Raden memang sudah sebucin itu pada istrinya apalagi kini ada darah dagingnya yang hidup di dalam perut Ruby.

Saat ini, laki-laki berseragam abu-abu yang selalu tampak tidak rapih itu lagi-lagi berada di depan kelas Ruby. Bersandar sembari bersidekap dada menunggu kelas istrinya selesai untuk mengajaknya ke kantin.

Begitu seruan salam terdengar, Raden menegakkan tubuh. Memasukkan kedua saku ke dalam celana. Laki-laki itu lantas tersenyum tipis dan menunduk kecil ketika guru yang mengajar keluar dari kelas.

"Siang, Bu," sapanya sok ramah.

Wanita berpenampilan formal tersebut menaikkan alis melihat memandang Raden. "Ngapain kamu di sini? Nungguin Pandu?"

Raden menggeleng. "Saya nungguin Ibu."

"Ada perlu apa kamu sama saya?"

"Ibu dari calon anak-anak saya maksudnya, Bu," jawabnya jenaka diakhiri cengiran tanpa dosa.

Guru tersebut menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak jelas," gumamnya sebelum berlalu.

Raden terkekeh geli melihat raut kesal beliau. Kemudian, saat melihat ke dalam kelas, ia melambaikan tangan sembari tersenyum lebar pada Ruby yang kini berjalan ke arahnya bersama Vio, Zahra, dan Pandu. Namun, hanya sepersekian detik senyumnya sirna ketika Pandu dengan seenak jidat merangkul leher Ruby.

"Tangan lo woi! Tangan lo!" seru Raden galak.

Pandu berdecih sebelum melepaskan Ruby. "Galak amat! Baru juga jadi—"

"Jadi apa?" Raden melotot garang.

Pandu menyengir kuda. "Canda boss ku. Yaudah gue ngerangkul Pio aja. Sini say—"

Vio yang berdiri di samping laki-laki itu langsung berpindah dengan cepat ke sebelah Zahra. "Idih jauh-jauh lo najis!"

Pandu menekuk bibirnya sedih. Laki-laki dengan seragam putih abu-abu yang sama tidak rapihnya dengan Raden itu lantas melirik Zahra, hendak menggoda gadis itu juga namun Zahra lebih dulu menatapnya tajam hingga Pandu mengurungkan niat.

Tidak mempedulikan Pandu, Raden menarik tangan Ruby agar berjalan bersamanya di koridor yang cukup ramai karena jam istirahat.

Ruby menatap tangannya yang digenggam Raden. Jemari mungilnya bertaut dengan jari besar Raden. Sepanjang jalan, ia menunduk, membuat Raden akhirnya menghentikan langkah.

Laki-laki itu meraih dagu Ruby untuk mendongak padanya yang lebih tinggi. "Gue udah berapa kali bilang, hm? Jangan pernah nunduk kalo jalan sama gue," katanya lembut.

RADENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang