Alan ketahuan

14.8K 506 33
                                    

Bunyi tamparan menggema di sebuah ruangan. Raynar tanpa ragu menampar putranya sendiri. Emosi memuncak saat dia lihat tatapan tak bersalah anak ketiganya yang mengakui perbuatan tidak benar yang dia lakukan pada si bungsu.

"Papa kecewa sama kamu, Alan"

Raynar berlalu meninggalkan Alan, tak menyadari si bungsu yang bersembunyi dibalik sofa. Alan melirik pergerakan Linna yang beranjak naik ke sofa, menatapnya datar. Kakinya beranjak mendekat pada adiknya, mengusap pipi itu lembut.

"Linna tadi dimarahin papa juga?"

Gelengan kepala menjadi sebuah jawaban. Alan tersenyum hangat, tatapan mata datar khas adiknya itu untuk beberapa waktu ke depan tak akan bisa dia lihat lagi. Ayahnya memutuskan untuk memindahkannya ke tempat yang jauh, jauh hingga tak bisa menggapai si bungsu sampai ia menyelesaikan pendidikannya, sampai ia menyesali perbuatannya.

Tapi apa itu penyesalan? Alan tidak mengenalinya. Karena itu dia mengunci pintu, kemudian meraup bibir manis Linna, memanjakan telinganya dengan desahan manis adiknya sendiri.

"Ahh.. kak Alan.. gak mau.. "

Alan menulikan pendengarannya, tangannya menelusup masuk ke dalam kaos Linna dan meremas dadanya perlahan. Selesai dengan bibir, Alan mengecup perlahan leher Linna, naik hingga ke rahang, dan sampai ditelinga adiknya.

"Linna gak mau.. ahh.. gak.. "

"Linna janji gak akan kasih tau sama papa?"

"Janji.. Linna janji"

"Good"

Alan menyingkap rok yang dikenakan si bungsu, menarik celana dalamnya. Perlahan dia menyentuh milik Linna, Linna dengan susah payah menahan tangan kakaknya, walau ujungnya dia kalah tenaga.

"Ahh!"

Linna tersentak saat merasakan satu jari Alan memasukinya, memainkan miliknya disana. Jari Alan keluar masuk perlahan, kemudian berubah cepat. Kepala Linna mendongak dengan mulut yang tak berhenti mengeluarkan suara favorit Alan. Tangan mungil itu meremas kaosnya erat.

"Gak.. Linna.. ahh.. Linna gak mau.."

Tatapannya bertemu dengan mata si bungsu yang berkabut, mulai tidak bisa berpikir rasional. Saat dirasakan jarinya dijepit didalam sana, Alan semakin mempercepat pergerakan jarinya, mengabaikan tubuh adiknya yang gemetar, hingga kemudian Linna mengeluarkan cairan dari area sensitif miliknya.

"Itu hukuman, ngerti?"

Linna mengangguk, tubuhnya masih gemetar. Alan mengusap kepala si bungsu, hingga gadis itu menutup mata disusul suara dengkuran halus.

=====

Noah dari sudut mata memperhatikan pergerakan adiknya yang sedang membongkar isi kulkas. Dia tahu pasti apa yang dicari si bungsu, namun tetap diam hingga gadis itu buka suara.

"Es krim Linna mana?"

Noah menatap mata datar itu, kemudian melirikkan matanya ke arah bawah, sekotak es krim tergeletak dihadapannya, sisa setengah. Menunggu reaksi adiknya, Noah memperhatikan bagaimana dahi itu mulai mengerut.

"Kenapa dimakan?"

"Kakak gak tau itu punya kamu, maaf ya sayang".

Kerutan di dahi hilang, Linna kemudian mengambil sendok, duduk disamping kakaknya, ikut makan es krim yang sisa setengah itu. Saat melihat Linna makan belepotan, Noah memajukan tubuhnya, menjilat es krim yang tersisa di bibir adiknya, kemudian mulai mencium bibir si bungsu.

Linna diam dengan tingkah random kakaknya, bibirnya dihisap habis seperti akan dimakan, saat dilepas, Noah tersenyum melihat bibir itu merah dan bengkak. Dia kembali duduk, tepat saat Raynar dan Theo masuk ke ruang makan.

"Papa, es krim Linna habis dimakan kak Noah"

"Noah". Raynar menegur si sulung yang melebarkan mata tidak percaya. Hey! dia kan hanya makan setengah, tidak sampai habis.

" Beliin lagi dong kak". Theo ikut bersuara, Noah yang cemburuan berusaha menahan diri saat dilihatnya dua anak kembar itu saling berpelukan. Theo dengan gemas mencium pipi berlemak bayi si bungsu.

"Iya deh, nanti kakak beliin lagi ya"

"Sama coklat"

=====
Huh, sengaja menyingkirkan Alan biar cerita selanjutnya fokus ke Noah Linna hehe.

𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang