STADIUM AKHIR 34

87 19 2
                                    

Keinginan Kanaya







Suasana rumah sakit begitu sangat mencengkeram bagi Rafa, pria dengan keadaan tak karuan itu terduduk di kursi dengan sesekali menatap pintu ruangan ICU. Air matanya tidak bisa ia tahan sedari tadi membayangkan wanita yang ia cintai akan pergi sungguh ia tidak sanggup. Pria itu hanya sendiri di sana, ia baru saja menelfon Zidan untuk memberitahunya bahwa Kanaya saat ini tidak baik baik saja. Bukan saja Zidan ia juga memberitahu Tio, dan Karin.


Ting...Ting...Ting...tttiiiiiiiingggggg!!!




Suara panjang itu terdengar hingga di luar ruangan, dokter Diana terlihat panik saat menoleh ke arah  mesin monitor yang ada di samping. Di layarnya menunjukkan garis lurus yang tak kunjung naik turun.

"Nggak! Kanaya bertahanlah..." Ucap dokter Diana dengan tangan yang sudah bergetar.

Salah satu dokter yang membantu dokter Diana di sana menghela nafas panjang.

"Pasien tidak bisa kita selamatkan." Ucap dokter itu.

"Nggak mungkin dokter, Kanaya akan bisa kita selamatkan." Ucap dokter Diana masih yakin.

Dokter pria itu kembali menggeleng. "Suster, catat tanggal kematiannya. Aku akan memberitahu keluarganya." Ucap dokter itu lagi lalu keluar dari ruang ICU.

Ia langsung berhadapan dengan Rafa yang menatapnya penuh dengan harapan.

"Bagaimana keadaan Kanaya? Kanaya baik baik saja kan?"

Dokter pria itu terlihat ragu untuk menjawab, ia menggeleng sembari menghela nafas, menepuk pundak Rafa pelan sebari berucap.

"Kami tidak bisa menyelamatkan Kanaya."

Rafa berdiri mematung mendengar jawaban dokter pria itu. Langit terasa gelap tiba tiba, kegelapan itu seperti seketika menyelimuti bumi, kemana perginya warna warna indah itu? Kenapa seakan menghilang saat mendengar kematian Kanaya. Suasana di rumah sakit itu terasa sunyi seperti tidak ada siapa siapa di sana.

Rafa langsung masuk ke ruang ICU, ia tidak mampu lagi berkata-kata saat melihat mayat kaku Kanaya terbaring di sana.

"Kanaya..." Ucap Rafa pelan, tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya ini.

Pria itu berlari menghampiri Kanaya, tangan dinginnya, wajah pucatnya membuat Rafa semakin tertusuk lebih dalam lagi.

"Kanaya...bangun Nay." Ucap Rafa sembari mengguncang tubuh Kanaya namun tidak ada respon.

"TIDAK!!! KANAYA!!!!!!!!" Teriak Rafa di sertai tangisnya.

"Kamu udah janji kan nggak akan ninggalin aku!! Kanaya bangun Kanaya!! KANAYA!!" Rafa terus berteriak dan jawaban yang ia dapat tetap sama.

"KANAYA!!"

Anggota geng Eagle terkejut dengan teriakan Rafa. Mereka menoleh pria itu dengan keringat yang bercucuran seperti baru saja berlari padahal dari tadi jelas jelas ia tertidur pulas di sana.

"Anying si Rafa, bikin gue kaget aja!" Ucap Arkan kesal.

"Kanaya nggak ada di sini bego." Ucap Alfarez.

"Gini nih orang bucin. Gue yakin dia pasti mimpiin Kanaya." Ucap Angga.

Rafa tidak merespon, mimpi buruknya itu membuat pria itu buru buru pergi dari sana, teman temannya menatap pria itu aneh.

10 menit berlalu Rafa sudah tiba di lapangan kasti dimana Kanaya berlatih bersama team nya. Pria itu benar benar khawatir hingga ia tidak perduli jika harus melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di sana. Rafa langsung masuk ke dalam lapangan, di sana ada Kanaya yang sedang fokus mendengarkan arahan pelatih.

STADIUM AKHIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang