Siasat

10 5 34
                                    

Devnayra menunggu Linggar-- temannya di depan gerbang. Mata kecil gadis berdarah Riau itu spontan menampakkan sorot berbinar ketika melihat perempuan berambut kuncir kuda turun dari boncengan motor besar.

"Linggar!" sapa Devnayra antusias.

Linggar menoleh tersenyum manis dan balas melambaikan tangan. Namun ketika mendengar kalimat yang diucapkan oleh kakaknya dengan pelan. Senyuman Linggar luntur tergantikan oleh rasa cemas yang memenuhi isi kepala.

"Putri Deswandaru? Jika dibiarkan, lama-lama bisa mengancam."

"Kak, jangan ... dia temen aku," cicit Linggar dengan sorot mata penuh permohonan. Laki-laki bertubuh kekar itu tidak menggubris, dia pergi dengan senyum congkak di balik helm fullface-nya. Merasa rencana yang sudah dia susun sejak lama kini berada di atas angin.

***

Pukul 04.17 sore, Shazu selesai membeli map dokumen untuk keperluan tugas kampus. Dia kembali melajukan motor scoopy putih untuk menjemput Devnayra.

Kurang lebih sekitar 15 menit, Shazu sampai di halte dekat sekolah. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat raut wajah Devnayra yang terlihat pucat. Seragam sekolah yang senantiasa rapi dipakai Devnayra, kini kotor di beberapa bagian tertempeli pasir jalanan dan debu.

Beberapa siswa berseragam OSIS dan warga sekitar tampak mengerubungi Devnayra. Sebagian dari mereka menatap ke arah utara seraya menyampaikan gerutuan-gerutuan kesal, menilik mobil sedan tua berwarna hitam yang semakin menghilang ditelan jarak.

Shazu segera meraih telapak tangan dingin Devnayra. Di sampingnya ada Linggar yang sudah menangis sesenggukan. Agaknya khawatir dengan kondisi Devnayra.

Menurut keterangan beberapa saksi mata, mobil itu naik ke trotoar dan hampir menyerempet Devnayra. Beruntung gadis berusia 17 tahun itu melakukan gerakan refleks dengan melentingkan tubuhnya ke parit kering pinggir trotoar. Setelah itu, mobil mundur beberapa meter untuk menyeimbangkan badan. Kemudian langsung menancap gas menjauh dari lokasi kejadian, menghindari emosi dari serangan massa. Semua itu terjadi dengan cepat. Shazu menyimpulkan peristiwa janggal itu, seolah-olah menjadi skenario kecelakaan yang disengaja.

"Res!" panggil Shazu seraya melambaikan tangan tinggi-tinggi ketika melihat Nareshta yang sibuk dengan ponselnya di kedai kecil ayam geprek yang tidak jauh dari sebrang halte.

Laki-laki berkulit putih dengan tinggi sekitar 178 cm itu menoleh. Alis tebalnya agak naik menyebabkan dahi Nareshta mengkerut, dengan kelopak mata sayu yang terbuka lebar. Nareshta segera menyelesaikan pembayaran, lantas menyebrangi jalanan ketika lengang kendaraan.

"Dena kenapa?"

Shazu menggeleng, dia rasa terlalu berbahaya untuk menceritakan kejadian yang menimpa Devnayra barusan di sini. Nareshta mengerti dengan kode yang diisyaratkan Shazu.

"Bentar, Zu." Nareshta menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyebrang. Kemudian dia memasuki salah satu warung, membeli satu botol air mineral, lantas kembali dan menyerahkan air minum itu pada Devnayra yang masih sedikit gemetar.

"Minum dulu." Devnayra mengambil botol air mineral pemberian Nareshta.

"Bawa Dena pulang, aku bakal ngikutin kalian dari belakang," tegas Nareshta. Shazu mengangguk patuh dan menarik tangan Devnayra dengan cepat.

"Kak, jangan biarin Dena kemana-mana pergi sendiri," pesan Linggar sebelum Shazu benar-benar pergi.

Sesama perempuan, Shazu paham. Pasti Linggar takut suatu hal buruk terjadi pada teman dekatnya. Dia pun segera mengiyakan pesan dari Linggar dan mengusap bahu remaja tersebut, guna memberi ketenangan.

Nareshta menatap Linggar tanpa ekpresi, tiga detik pandangan mereka bertemu. Sebelum akhirnya Linggar memutuskan untuk menunduk, menghindari sorot mata mengintimidasi dari netra obsidian Nareshta.

"Kalo gitu kami pulang duluan, ya. Kamu juga langsung pulang. Take care," pesan Shazu yang direspon langsung dengan anggukan.

***

Rengga termenung setelah mendengar cerita yang dipaparkan oleh Devnayra secara rinci. Ceritanya sama persis seperti yang Shazu dengar dari keterangan warga setempat. Rengga yakin, kecelakaan yang hampir menimpa Devnayra tadi sore berkaitan dengan pelaku kasus pembunuhan Heira. Putra sulung itu semakin cemas dengan keselamatan keluarganya yang terancam.

"Makan dulu." Nareshta meletakan sepiring nasi putih yang masih mengepul bersama seporsi ayam geprek di atas meja kecil -- di hadapan Devnayra. Tadinya lauk itu akan Nareshta makan untuk malam hari nanti. Namun melihat meja makan Rengga yang tidak tersedia masakan apapun, dia merelakan menu favoritnya untuk Devnayra.

Sebelum membawa hidangan itu, Nareshta memastikan sudah mengecek ke dapur terlebih dahulu. Melihat piring kotor yang duduk nyengsol di dalam wastapel, dia yakin bahwa Rengga sudah makan. Nareshta tahu, laki-laki itu tidak suka beres-beres.

Shazu, Devnayra dan Rengga menatap Nareshta termangu. Merasa tidak nyaman, Nareshta balik menatap mereka satu persatu. "Apa?"

"Buat siapa, Res?" tanya Rengga.

"Buat Dena, dia pasti lapar. Rengga udah makan. Terus Shazu gak suka makan pedes, 'kan?"

Devnayra mengulum senyum. Pipinya mendadak terasa panas. Dia senang mendapat perhatian kecil seperti itu. Nareshta tersenyum tipis melihat Devnayra yang bertingkah tidak jelas.

"Buat aku? Emang Kak Naresh udah makan?" tanya Devnayra berbasa-basi.

"Udah, tadi."

Devnayra masih menatap ayam geprek di depannya. Dia bingung, tidak enak hati jika harus makan sendiri.

"Kenapa dilihatin doang? Gak dikasih racun kok," kata Nareshta melihat keterdiaman gadis di hadapannya.

"Bukan gitu, ish. Ya udah, aku makan, ya. Makasih banyak, Kak Naresh," jawab Devnayra. Dia bangkit dari tempat duduk. Kemudian berlari kecil untuk mencuci tangan.

Rengga memperhatikan kedekatan antara adiknya dengan Nareshta, lantas berdehem keras. "Mohon hargai saya sebagai Kakaknya, ya."

Shazu tertawa gemas. "Iri? Bilang, Bos!"

"Dih, siapa juga yang iri."

Nareshta menautkan kedua alisnya, lalu tersenyum singkat. Devnayra kembali menempati tempat semula, dia dibuat melongo melihat ekspresi yang jarang sekali diperlihatkan Nareshta. Namun ketika tatapan Nareshta kembali mengarah padanya, Devnayra segera menunduk pura-pura menatap nasi.

"Kayaknya mulai besok Dena gak boleh pulang-pergi sendiri deh, Ga. Bahaya," tutur Shazu membuka topik baru.

Rengga menarik napas dalam-dalam. "Iya, tapi aku juga gak bisa ngawasin Dena tiap waktu."

"Aku bisa jaga diri sendiri kok. Buktinya tadi gak kenapa-napa, 'kan?" sahut Devnayra meyakinkan. Dia juga tidak ingin merepotkan banyak orang.

"Tapi ngelepas kamu sendirian itu berat, Na. Kalo mau ke mana-mana, kamu bilang sama aku. Nanti biar aku yang antar." Shazu tidak mau kalah.

"Ish, gak mau. Itu ngerepotin."

"Enggak, Dena. Nurut sama aku, ya."

Devnayra diam, lebih memilih menggigit tulang rawan ayam gepreknya. Bingung mau menjawab apalagi. Suasana menjadi hening, tapi riuh meneriaki kepala tiap orang-orang yang ada di ruang tengah itu.

Enigma [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang