Bukti

8 3 10
                                    

"Kak Naresh?"

Linggar buru-buru membenarkan letak tali ransel yang sempat tersampir di lengannya. Dia segera membuang muka guna menghindari tatapan dingin dari Nareshta. Entah kenapa, dari pertemuan-pertemuan singkat yang terjadi belakangan ini Linggar selalu takut dengan sorot wajah Nareshta yang tidak pernah terlihat ramah kepadanya.

"Aku harus pamit sekarang. Aku minta maaf sama kamu dan keluarga kamu, bukannya mau bermaksud nyembunyiin. Tapi aku harus pulang sekarang. Kita bisa bahas tentang ini lagi lain kali."

"Linggar, sebentar. Kita harus bicarain ini sampai selesai. Siapa yang udah tega ngebunuh mama?"

Devnayra tidak bisa menahan kepergian teman dekatnya. Linggar berjalan tergesa-gesa melewati Nareshta. Dia seolah tuli dengan panggilan-panggilan dari Devnayra.

"Ayo pulang," ajak Nareshta singkat.

"Kak-- " Ucapan Devnayra dipotong cepat oleh Nareshta.

"Kita bicara di rumah aja nanti. Shazu udah nunggu di depan gerbang. Dia khawatir karena kamu telat pulang. Aku harus pergi sekarang, ada urusan." Tiga detik pandangan keduanya beradu. Nareshta bergerak gelisah. Sebelum akhirnya dia berjalan membelakangi Devnayra yang menatap ke arahnya dalam diam.

***

"Muka udah putih gitu, masih aja dirawat!"

Jinora nyengir mendengar penuturan Wanda. Dia tetap lanjut mengoleskan sunscreen pada wajah mulusnya.

"Harus dong, biar glowing. Sekarang 'kan orang-orang good looking lebih dihargai. Mau sepintar apapun otak manusia, kalo penampilannya buluk. Siapa sih yang mau ngelirik?" sarkas Jinora.

Rengga tertawa getir mendengar percakapan dua mahasiswa di hadapannya. Kenyataan yang dia benci di negara ini memang begitu.

"Apalagi kalo cuma berasal dari kalangan kelas ekonomi rendah ya, 'kan?" Wanda kembali menimpali, mengingat lembar surat lamaran yang dia kirim ke beberapa perusahaan. Hanya berakhir dalam proses interview tanpa ada keputusan yang jelas. Lebih tepatnya tidak ada keterangan dirinya ditolak, tidak juga diterima. Laki-laki berambut cepak itu segera duduk mendekati Jinora -- mengikis jarak.

"Heh! Ugh, sana! Bau jigong, ih!" Wanda langsung menekuk wajah ketika Jinora mendaratkan telapak tangannya di jidat lebar Wanda, hingga badannya terhuyung ke belakang.

"Emang iya! Belum mandi dia," ujar Rengga menunjuk Wanda dengan dagunya.

"Dih, jorok banget. Katanya gangguan jin itu bisa ditandai dengan malas mandi loh, Wan." Jinora sempat membaca keterangan itu dari salah satu postingan instagram yang lewat di beranda akun sosmednya.

"Jangan nakut-nakutin lah, Jino!"

Derit pagar yang digeser menghentikan percakapan random mereka. Devnayra dan Shazu masuk ke rumah. Langkah jenjang putri Deswandaru mencari keberadaan Rengga. Ternyata dia berada di tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul. Ada Wanda dan Jinora di sana, seharusnya Nareshta juga. Tapi sayangnya, Nareshta bilang dia ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. Tidak masalah, Devnayra harus cepat-cepat menceritakan berita penting yang didapat dari Linggar pada orang-orang di sekelilingnya.

"Linggar! Linggar tahu kasus mama, Kak!" Kalimat pembuka dari Devnayra berhasil membuat empat mahasiswa menatap lekat ke arahnya. Suasana di ruang tengah berubah mencekam.

***

Nareshta mengikuti langkah lebar Linggar dari belakang. Dia tahu, gadis yang berjalan gelisah di depannya sedang dilanda ketakutan. Terbukti ketika Linggar duduk di halte sekolah, bahu gadis itu terlonjak naik-- kaget menyadari kehadiran Nareshta.

Enigma [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang