Ingatan Kecil

10 4 6
                                    

Wanda mengetuk pintu rumah Rengga dengan keras malam-malam. Tanpa sepatah kata apapun, Wanda masuk setelah Rengga membukakan pintu. Raut wajahnya begitu masam tidak enak dipandang.

"Numpang tidur, ya, Ga. Rumah aku lagi berisik. Banyak suara petir," celetuk Wanda. Dia membenamkan tubuh dalam sarung motif kotak-kotak yang dia bawa dari rumahnya.

"Petir?" beo Devnayra dengan heran. "Perasaan cuacanya lagi cerah-cerah aja deh, Kak," sambungnya lagi.

Rengga memberikan pelototan kecil pada adiknya. Devnayra langsung mengatupkan mulut, mengerti dengan kode yang diisyaratkan oleh Rengga yang menyuruhnya untuk diam.

"Ada apa? Mau cerita sekarang, Wan?" tawar Rengga.

"Gak ada yang perlu diceritain kok, Ga. Masalahnya masih sama," sahut Wanda. "Masalah keluarga, haha."

Sekarang Devnayra mengerti, Wanda biasa mencari ketenangan di rumah ini. Ketika suasana rumahnya berantakan. Masalah yang sering Wanda ceritakan itu tentang pertengkaran orang tuanya yang meributkan masalah ekonomi.
Begitulah, tidak ada manusia yang sembuh di dunia ini. Semua orang sedang berjalan melewati hidup dan mengobati lukanya masing-masing.

Rengga mengembuskan napas panjang. "Ya udah, tidur aja kalo gitu. Kalo butuh apa-apa tinggal bilang, ada aku atau Dena di sini. Nareshta juga katanya mau ke sini nanti."

"Kak Naresh mau ngapain ke sini?" Devnayra melihat jam yang mengantung di dinding sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam.

"Tuh." Rengga mengarahkan dagunya pada meja kecil di ruang tengah. Benda pintar berbentuk pipih persegi panjang milik Nareshta terdampar sendiri.

"Oh, kok bisa ketinggalan?"

Rengga mengangkat kedua bahunya, tidak tahu.

Suasana kembali hening. Devnayra melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda -- berselancar di dunia maya. Mencari inspirasi untuk menulis di blog pribadi yang harus dia upload minggu ini. Namun, tiba-tiba dia teringat dengan piring kotor yang belum dibasuh tadi sore. Meskipun malas, Devnayra berusaha memaksakan diri untuk mencuci piring malam ini. Dia tidak ingin pekerjaan besok pagi menjadi numpuk. Memang siapa lagi yang mau mengerjakan pekerjaan rumah selain dia sendiri?

Suara deburan ombak terdengar samar-samar ketika ia menginjakan langkah di dapur. Ah iya, hari ini pertengahan bulan. Ombak laut biasanya naik setelah bulan purnama muncul. Irama melodi ombak itu begitu damai di telinga Devnayra. Deburan ombak yang hanya bisa terdengar dari dapur dan halaman belakang rumah Devnayra ketika air laut sedang pasang. Memang, posisi rumahnya tidak terlalu jauh dari laut Natuna.

Devnayra mendahulukan mencuci gelas daripada piring. Dulu Heira selalu mengajarkan begitu supaya gelas-gelasnya tidak bau amis katanya.

"Ma, Dena kangen dipeluk Mama. Bener kata Mama dulu, aku harus jadi perempuan yang tangguh, mandiri dan cerdas. Nyatanya setelah kepergian Mama, apa-apa harus aku lakuin sendiri. Sedih, kecewa, takut, bahagia, bahkan terpuruk ... semuanya aku telan sendiri. Dewasa gak se-menyenangkan seperti yang aku kira. Lelah, tapi aku harus kuat."

Devnayra bercerita seolah Heira ada di dekatnya. Semua keluhan itu dia suarakan sendirian. Dia tidak sadar dengan kehadiran Nareshta. Sebenarnya ketika mendengar curahan hati Devnayra, tadinya Nareshta hendak mengurungkan niat untuk mengambil air minum. Namun, jiwa manusiawinya mengatakan supaya Nareshta diam dan mendengarkan sesuatu-- yang mungkin tidak seharusnya dia dengarkan.

Kehilangan ternyata se-menyakitkan itu.

Sejatinya, memang tidak semua luka bisa terlihat. Justru luka yang paling membekas adalah luka yang bersumber dari dalam hati. Katanya, sejauh apapun kita pergi untuk menghindar, jika luka itu tercipta dari diri sendiri. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah mendapatkan obat penawarnya.

Jadi kuncinya satu, berdamai dengan diri sendiri.

Blubuk! Blubuk!

"Duh, malah bunyi lagi," keluh Nareshta ketika dia membuka keran dispenser. Bukan hal asing lagi ketika menyicikan air dari dispenser akan menghasilkan suara dari dalam galon. Karena menurut suatu materi yang Nareshta pelajari, ketika tekanan udara di dalam galon berkurang. Maka sebagai kompensasinya, udara dari luar akan masuk ke dalam galon. Sehingga menghasilkan suara blubuk-blubuk.

Oke, permasalahan yang sekarang Nareshta hadapi ini bukan lagi tentang suara galon. Melainkan tatapan terkejut dari Devnayra yang mengarah kepadanya.

"Kak Naresh udah lama berdiri di sana?"

Nareshta berdiri kaku. Dia mengangguk beberapa kali, tapi mulutnya memberi pernyataan lain dengan berkata, "Enggak."

Devnayra mengerjap. "Loh?"

Nareshta duduk di kursi meja makan, lalu menghabiskan setengah gelas air putih yang dia ambil barusan. Nareshta berusaha berpikir cepat, dia harus segera mengalihkan topik pembicaraan agar Devnayra tidak mencecarnya dengan pertanyaan lain.

"Na."

"Iya, Kak?"

"Cewe yang tadi nangis di halte, itu siapa?"

Bagus, pertanyaan yang Nareshta ciptakan cukup berbobot. Dia jadi bisa menggali informasi tentang orang-orang yang berada di sekitar Devnayra lebih dalam. Nareshta sangat berterima kasih pada otaknya yang bisa diajak kerja sama kali ini.

"Oh, itu. Namanya Linggar, dia temen deket aku di sekolah. Dia orangnya emang gitu. Gampang panik kalo ada apa-apa. Emang kenapa, Kak? Kok tiba-tiba nanyain itu?"

"Temen deket?"

"Iya, dia sering bantu aku. Kami juga saling tukar cerita. Ah, pokoknya kayak hubungan pertemanan Kak Naresh sama Kak Rengga aja."

"Oh, gitu ...," komentar Nareshta singkat.

"Jangan terlalu menaruh kepercayaan penuh sama makhluk. Manusia itu sifatnya gampang berubah. Bahkan orang-orang yang sekarang dekat sama kamu, bisa berkhianat kapan aja."

Devnayra mengerutkan kening sampai kedua alisnya hampir menyatu. Nasihat yang Nareshta berikan berhasil membuat kepala Devnayra kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan baru. Apa maksud dari itu semua? Apa Nareshta sedang menyuruhnya untuk menjauhi Linggar? Tapi kenapa?

"Maksudnya gimana, ya, Kak?"

Nareshta bangkit dari tempat duduknya. Kemudian berjalan untuk menyimpan gelas kosong yang dia gunakan. "Gak usah dipikirin. Tadi cuma asal bicara aja," pungkas Nareshta.

"Ini jangan dicuci, besok juga bakal aku jemput lagi." Nareshta menunjuk gelas yang sudah dia simpan di atas sudut kabinet lemari dapur. Setelah mengatakan itu, Nareshta pergi dari ruangan tanpa menunggu jawaban dari lawan bicara.

Bohong jika Devnayra mengatakan tidak memikirkan lagi ucapan dari Nareshta. Dia mencoba berdiskusi dengan kepalanya sendiri selama mencuci piring. Membuat pertanyaan, disanggah oleh suara hati, lalu disimpulkan sendiri. Kadang, memang seseru itu.

Tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu sendiri, Devnayra segera beranjak dari dapur setelah menyelesaikan aktivitasnya. Dia celingukan di ruang tengah mencari sosok yang dia butuhkan. Namun yang dia dapat hanya suara bising yang keluar dari mulut Wanda. Teman Rengga yang satu itu memang punya ciri khas agak menjengkelkan. Dia sering tertidur dengan mulut terbuka lebar, sehingga udara yang keluar masuk dari mulut dan hidungnya terhambat. Terciptalah dengkuran keras yang cukup memekakkan telinga.

"Cari apa?" Rengga keluar dari kamarnya setelah membawa charger, ponsel, bantal dan selimut tipis.

Senyum Devnayra terpatri sempurna. "Kak Naresh mana?"

"Udah pulang lagi. Dia ke sini cuma ambil HP doang. Emang kenapa? Mau ngapain? Tumben nanyain?" cecar si sulung.

Devnayra kecewa dengan jawaban dari Rengga. Sebenarnya tidak ada yang salah sih dengan jawaban yang Rengga sampaikan. Memang harapan Devnayra yang terlalu tinggi. Dia kira Nareshta bisa menjelaskan ulang tentang apa yang diucapkannya tadi. Tapi ternyata, laki-laki itu justru pulang tanpa pamit. "Gak papa. Nanya doang. Kirain mau nginep lagi. Ya udah, kalo gitu Dena pamit, ya."

"Mau ke mana?"

"Mau tidurlah. Ke mana lagi? Udah malam juga."

Rengga berdecak kesal. "Biasanya juga kalo mau tidur langsung tepar. Gak pamit dulu."

"Terserah aku dong."

Enigma [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang