Sebuah Petunjuk

7 3 6
                                    

Devnayra meletakan buku tulis dan LKS di atas meja. Tidak lupa ponselnya yang sudah dalam posisi record on -- dia letakkan di kolong meja. Hal yang sudah biasa dilakukan Devnayra untuk merekam penjelasan guru. Nantinya audio-audio itu akan dia dengarkan sebagai antisipasi jika materi yang dia tulis kurang dipahami dengan baik. Nareshta yang mengajarkannya tentang itu.

Kepala Devnayra tidak fokus mendengarkan guru fisika yang sedang menjelaskan tentang Torsi. Posisi kursi Devnayra berada di dekat jendela, membuat angin bisa leluasa masuk ke dalam tubuhnya melalui celah pori-pori kulit putih bersih gadis itu. Kelopak mata berbentuk almond Devnayra terasa semakin berat. Semalam dia begadang sampai jam dua dini hari karena sulit tidur.

Devnayra menjadikan wajah guru muda di depan sebagai titik fokus. Sedangkan kepalanya disandarkan pada tembok di samping. Sepuluh menit kemudian, Devnayra seperti ditarik oleh dimensi lain. Telinganya mendengar banyak suara, tapi pemandangan yang dia lihat hanya sebatas kegelapan. Sampai akhirnya semua berubah senyap.

Ternyata senyap yang dia dapat hanya bersifat sementara, karena setelah itu Devnayra mendengar suara original soundtrack dari anime Attack On Titan dengan volume yang keras. Apa jangan-jangan Devnayra memang masuk ke dalam portal anime? Yang menyebabkan hidupnya terbantai oleh makhluk mitologi berbentuk raksasa.

Tidak, tidak! Suara ini berasal dari ... dekat telinganya. Devnayra mengedipkan mata beberapa kali, lalu mulai menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk ke dalam mata. Devnayra menatap sekeliling, bangku-bangku di kelasnya sudah kosong. Kini di dalam kelas XII MIPA 2 itu hanya tersisa Devnayra dan Linggar.

"Yang lain pada ke mana?" tanya Devnayra dengan suara serak.

"Dena, kamu tidur nyenyak banget. Mereka udah pada pulang dari sepuluh menit yang lalu." Linggar menghentikan putaran lagu yang dijadikan senjata untuk membangunkan Devnayra.

Devnayra nyengir seperti orang bodoh dan menggaruk dahinya yang tidak gatal. "Ya udah, ayok kita pulang."

"Sebentar, Dena. Ada sesuatu yang harus aku omongin." Linggar memegang pergelangan tangan kanan Devnayra yang menggantung hendak menutup buku tulisnya.

"Mau ngomong apa? Kamu lagi ada masalah?"

Linggar menggeleng dan memejamkan mata. Napasnya terlihat mulai tidak stabil seperti ada tekanan kuat yang tinggal di dalam tubuhnya.

"Aku gak tahu, setelah aku cerita, kita masih bisa temenan atau enggak. Tapi aku gak mau hidup dibayangi dengan rasa bersalah. Aku juga gak mau hal buruk terjadi lagi sama kamu."

Devnayra semakin dibuat bingung. "Apa?"

"Dengerin aku, Na. Aku tahu sesuatu tentang kecelakaan janggal yang kemarin hampir kamu alami. Juga tentang ... kasus pembunuhan Tante Heira."

Devnayra melotot dengan jantung berdentum keras. Tiba-tiba seluruh badannya terasa lemas dengan sakit yang mencabik setiap bagian tubuh yang dialiri oleh darah. Terutama hatinya.

"Dalang di balik itu semua adalah orang yang sama. Dan sekarang dia ... dia lagi ngincar kamu."

"S-siapa orangnya, Nggar?"

"Maaf, aku takut bilangnya, Na. Dia selalu ngancam keluarga aku." Buliran bening hangat melintasi pipi Linggar setelah memenuhi pelupuk kelopak matanya.

"Atas dasar apa dia ngelakuin itu, Linggar? Apa yang dia cari dari keluarga kami? Dia siapa?"

"Dia kakak-- "

"Dena?" Seorang laki-laki jangkung menyembulkan kepalanya dari jendela kelas yang masih terbuka sekitar empat puluh lima derajat.

Devnayra dan Linggar sontak menoleh ke arah jendela yang terletak paling ujung di belakang mereka. "Kak Naresh?"

Enigma [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang