CHAPTER 24

6.7K 700 14
                                    

Sorot cahaya putih yang terang benderang memenuhi indra penglihatannya, membuat Christy merasa matanya seolah tersengat. Di ambang kesadarannya, ia pun berusaha memicingkan matanya, tetapi, pendar pancaran tersebut terlalu menyilaukannya.

"Christy.."

"Dek.."

"Dek.."

"Christy.."

"Christy.."

Suara-suara itu perlahan terdengar bergema di telinganya, samar-samar dari berbagai arah. Dengan perlahan, Christy merasa ada sesuatu yang nyata, dingin, menusuk dari selimut tipis di atas tubuhnya, kesemutan di jari-jari tangannya, dan berat di matanya yang seakan menolak untuk terbuka.

Lalu, terdengar suara lebih jelas.

"Christy.., Dek.."

Christy mengenali suara itu. Dengan sekuat tenaga, ia memaksa jari-jarinya untuk bergerak, meskipun tubuhnya terasa berat, seperti tertahan beban yang tak terlihat.

Dengan napas yang masih lemah, ia seolah mendapat dorongan untuk memberi tanggapan. Kesadarannya perlahan mulai merangkak, menariknya dari kegelapan yang sudah cukup untuk membelenggunya.

Di samping matanya yang terasa tertahan, Christy mencoba membuka kelopak mata itu sedikit demi sedikit. Cahaya putih yang sebelumnya menyilaukan perlahan menjauh, berganti dengan sosok yang semakin jelas, wajah yang sangat ia kenali.

"M-Mama.."

..

..

Ada sedikit kepiluan yang Shani terima saat Christy memanggil selain dirinya kala ia terbangun dari ketidaksadarannya. Di antara haru dan syukur melihat putrinya kembali membuka mata, ada perasaan samar yang perempuan itu coba abaikan.

Shani berusaha tersenyum, menyingkirkan apa pun yang mengusik hatinya. Yang paling penting saat ini adalah kesembuhan Christy.

"Adek, gak papa? Apa yang sakit?" Tanya Shani, kembali duduk di samping Christy.

Akan tetapi, Christy hanya diam, tanpa ingin menanggapi perkataan dari sang Bunda. Sementara Cindy yang juga ada di ruangan dan menyaksikan hal tersebut menyadari bahwa mungkin telah terdapat sesuatu yang membatasi antara anak dan Ibu itu.

"Bunda khawatir, takut Adek kenapa-napa." Shani lalu mengusap lembut wajah Christy.

Cindy kemudian tersenyum simpul, dan melangkah lebih dekat dengan Christy juga Shani. "Mama mau ke rumah sakit dulu, sayang, gak papa? Kamu sama Bunda dulu, ya?" ujarnya.

Lekas Christy menoleh. Tatapan masih sayu, menatap Mama sambungnya tersebut. "Aku sendiri aja," balasnya.

Cindy mengerutkan keningnya. "Nanti kalau kamu mau apa-apa, gimana?"

"Suruh Bi Asih ke sini," balas Christy dengan suara lemahnya, hingga membuat Cindy dan juga Shani saling bertukar pandang.

"Enggak usah, Christy sama saya aja," kata Shani pada akhirnya.

Cindy mengangguk pelan, lalu melangkahkan kakinya ke pintu. Sebelum benar-benar keluar, ia menoleh sejenak, kemudian meninggalkan ruangan yang kini hanya dihuni oleh ibu dan anak itu.

"Kamu marah sama Bunda ya, Dek? Bunda minta maaf," ucap Shani seraya kembali menggenggam tangan Christy yang terasa dingin.

Sementara Christy tetap diam, matanya terpejam rapat, tapi Shani dapat merasakan setiap detak jantungnya. Ia tahu, Christy mungkin masih butuh waktu untuk kembali membuka diri padanya.

CHRISTY : 1472Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang