Tuhan tahu bagaimana semesta bekerja, membiarkan sudut pandang manusia berbeda, menerka apa yang dikira, dan pada akhirnya jatuh dalam lubuk derita.
Semuanya berawal dari lahir ke atas dunia, hingga apa yang dipunya hanya diperuntukan menggapai gelar nama. Bagi yang menggilai itu, tak ada yang lebih berarti selain kelebihan yang menyertai, hingga kekurangan dalam diri menjadi batu sandung yang harus dicampak kan.
Hati nurani yang menjadi penyeimbang kehidupan manusia dikalahkan oleh keegoisan menguasai jiwa. Tak ada yang mau mengerti, sampai mengorbankan orang tak bersalah.
Bagaskara termenung melihat koper di sebelahnya. Semalam, mamanya memasukan semua keperluan selama berlibur nanti. Tak ada rasa senang menyertai perjalanan mereka nanti karena kembarannya akan ditinggal sendiri, Candra.
Jika saja orang tuanya mengancam akan menambah hukuman Candra kalau Bagaskara menolak pergi, dengan lantang Bagaskara memilih di mansion bersama Candra, ketimbang ikut dengan orang tuanya.
Selama ini Candra hampir tidak pernah merasakan liburan, belajar dan belajar dalam hidupnya. Hanya Bagaskara yang bisa membujuk Candra bermain di luar, walaupun hanya sebentar.
Seharusnya, Bagaskara pergi membawa Candra ke arena bermain, seperti rencananya minggu kemarin. Namun harus pupus karena paksaan orang tuanya yang membuat Bagaskara seakan menjadi saudara kembar yang jahat.
Memang Candra tidak pernah protes setiap janji yang dibatalkan, bahkan tanpa diucapkan Candra tetap akan mengalah dan memilih belajar di kamar seharian.
Bagaskara tertawa sumbang mengingat bagaimana kerasnya Candra membuktikan kepada orang mereka mereka bahwa Candra mampu menjadi anak kebanggan. Namun tak semudah yang dikira, apa yang diraih tetap tak berarti bagi mereka.
Tak jarang Bagaskara sedih melihatnya, walaupun bentakan dan tamparan sudah biasa bagi kembarannya, tak sekalipun Candra mau berbagi lukanya.
Setidaknya Bagaskara ingin menjadi tempat sandaran Candra, mencurahkan segala keluh-kesahnya, dan tempat pulang untuknya.
Candra selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja, tak pernah mengeluh terhadap perlakuan orang tua mereka yang selalu membeda-bedakan mereka, membuat Bagaskara muak menahannya.
Dengan malas Bagaskara menyeret koper ke ruang tengah, dapat ia lihat kedua koper orang tuanya sedang dibawa oleh maid di sana.
"Permisi Tuan, saya bantu memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil, ya?" ijin salah satu maid di dekatnya. Bagaskara hanya mengangguk, membiarkan maid tersebut membawanya ke luar.
Langkah kaki Bagaskara dia bawa ke ruang makan, mama dan papanya sudah berada disana, tinggal kembarannya yang belum ikut bergabung."Pagi, Ma, Pa," sapa Bagaskara, menciumi pipi kedua orang tuanya.
"Pagi sayang."
Tak lama setelah itu, suara tongkat mengalihkan perhatian mereka. Sepasang kaki yang tertatih dibantu dengan tongkat yang dulu biasa Candra gunakan.
Sudah lama Candra tidak menggunakan itu, sepertinya kaki Candra sedang tidak baik-baik saja sampai harus dibantu dengan tongkat.
Bagaskara menghela napas, gusar meninggalkan Candra yang tampak tidak baik-baik saja. "Kaki kamu kenapa, Dek? Kok pakai tongkat."
Candra tersenyum, lalu memilih duduk di sebelah Bagaskara, menyandarkan tongkatnya di sebelah kursinya. "Nggak pa-pa kok, Kak. Cuma sedikit sakit aja."
"Itu kamunya kurang gerak, makanya paksakan kakimu jalan dengan normal. Jangan dimanja terus," celetuk Welly tanpa menyesakkan dada Candra.
"Besok-besok jalan santai ke taman, biar kaki kamu nggak sakit-sakitan," timpal Radit menambah goresan luka tak kasat mata.
Candra memilin ujung bajunya kuat, tak tau harus menjawab apa dengan kondisinya sekarang. Candra memang sering merasakan sakit di betisnya menjalar sampai ke ujung kakinya. Tapi beberapa hari belakangan rasa sakitnya tak biasa Candra rasakan, membuatnya mau tidak mau harus menggunakan tongkat untuk membantunya seimbang berlajan.
"Udah, jangan sampai kita ketinggalan pesawat hanya karena masalah tidak penting," ucap Welly tanpa perasaan.
Candra tersenyum kecut, dari kecil sampai sekarang, apapun yang berhubungan dengannya, tidak penting dibahas. Seakan Candra tak pantas menjadi bagian keluarga ini.
Berbeda dengan kembarannya yang selalu diagungkan, tak sekalipun terlewat dari pujian mereka, Kebanggaan-kebanggaan yang keluar dari mulut mereka.
Bohong rasanya Candra tidak pernah iri. Lihat dari hal kecil saja, saat papa dan mama menatap Bagaskara dengan sayang sedangkan Sementara Candra tak pernah dilirik dengan senyuman.
Papa tak pernah bosan membicarakan kepintaran Bagaskara, dan mama dengan penuh semangat mengambil lauk pauk untuk Bagaskara makan.
Terkadang Candra merasa kehadirannya tidak dianggap, merasa asing di tengah-tengah keharmonisan mereka.
Selesai sarapan pagi. Mama, papa, dan Bagaskara mulai bersiap-bersiap berangkat. Mengecek kembali barang-barang agar tidak ada yang ketinggalan.
Candra hanya diam memperhatikan, menahan rasa sesak yang sedari tadi dia tahan. Munafik Candra tak ingin pergi bersama keluarganya, nyatanya dari lubuk hati terdalam menjerit tidak ingin ditinggalkan.
Tapi Candra tahu diri, dia memang tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti Bagaskara, untuk itu Candra harus menjadi anak yang pintar agar bisa membuatnya pantas di mata orang tuanya.
"Kami pergi dulu. Ingat, manfaatkan libur semester ini untuk belajar," ucap Radit datar, masuk ke dalam mobil duluan.
"Jaga mansion selama kami liburan, jangan keluyuran nggak jelas," peringat Welly, menyusul sang suami ke dalam mobil.
Tinggallah Bagaskara yang sedang menahan emosi mendengar perkataan orang mereka. Tak seharusnya mereka menekan Candra. "Maaf, Dek. Kakak nggak bisa memenuhi janji Kakak kemarin. Nanti Kakak belikan oleh-oleh yang banyak untuk Adek. Balik liburan nanti, Kakak akan ngikutin kemana Adek inginkan," ucap Bagaskara meyakinkan.
Candra menggeleng singkat, menatap teduh sang kembaran. "Adek nggak mau apa-apa, Kak. Cukup Kakak pulang dengan selamat, dan tetap berada di sisiku. Itu udah lebih dari cukup, Kak," jawab Candra tulus.
Bagaskara teharu mendengarnya, memeluk Bagaskara dengan sayang. "Kakak sayang kamu, Dek. Jaga diri kamu baik-baik, ya? Jangan lupa makan dan jangan belajar terus." nasehat Bagaskara.
Candra bergerak hormat ke Bagaskara. "Siap kapten," ujar Candra membuat Bagaskara terkekeh.
"Kakak, pergi dulu, ya?" pamit Bagaskara dengan berat hati. Masuk ke dalam mobil.
Mobil bergerak menjahui mansion, meninggalkan Candra dalam keheningan, bertemankan sepi dalam kesendirian.
TBC
Halo, Popon kembali dengan kesedihan:)
Jangan lupa tinggalkan jejak jika kalian suka🥰
Salam Manis Popon
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...